Minggu, 15 Februari 2009

Pelaku Industri Elektronik Siap Investasi Rp 2,4 Triliun

Setelah Impor Produk Elektronik Diperketat

JAKARTA - Pengetatan impor produk elektronik yang berlaku 1 Februari 2009 telah memicu investasi. Meski masih terancam turunnya daya beli, namun pelaku industri elektronik siap menambah investasi sebesar USD 100-200 juta (Rp 1,2-2,4 triliun) dalam dua tahun ke depan.

"Dalam 1-2 tahun ini saya perkirakan ada USD 100-200 juta, tahun ini dan tahun depan sudah ada yang siap invest sebenarnya," ujar Rachmat Gobel, ketua umum Gabungan Elektronika (Gabel), di sela acara "Pengusaha Bertanya, Parpol Menjawab" kemarin.

Menurut dia, investasi itu tidak dilakukan oleh investor baru tetapi oleh perusahaan yang telah ada (eksisting) dengan menambah kapasitas untuk memperbesar kegiatan produksinya.

Investasi tersebut mencakup produksi televisi dan alat-alat rumah tangga, karena selama ini penetrasi alat rumah tangga rata-rata hanya 20 persen dari jumlah penduduk. Meski krisis, Indonesia dinilai memiliki kekuatan pasar yang besar, apalagi saat ini 50 persen pasar elektronik Indonesia masih dikuasai produk impor. "Pada waktu ekonomi mulai membaik Indonesia akan mempunyai kemampuan untuk menjadi eksportir," tegasnya.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kadin Crist Canter menilai pemerintah kurang cepat mengikuti iklim bisnis, termasuk dari sisi implementasinya. Hal itulah yang memicu permasalahan di bidang ketenagakerjaan, infrastruktur dan investasi. Pemerintah juga masih lamban dalam pembangunan infrastruktur. "Kelambanan itu juga melahirkan ekonomi biaya tinggi dalam investasi," tuturnya.

Ekonom Indef Iman Sugema mengakui bahwa tahun ini masalah ketenagakerjaan masih akan menjadi isu hangat. Terutama, terkait dengan konflik antara pengusaha dan buruh. Apalagi ditengah krisi yang diperkirakan bakal menambah jumlah PHK. "Sampai saat ini saja, pekerja di sektor informal sudah naik. Dari 61 persen menjadi 70 persen,'' ungkapnya.

Sebagai jalan keluar, Iman menawarkan implementasi kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang bisa menjadi sandaran ketika kasus PHK meningkat. Selain itu, hal itu juga bisa menekan potensi terjadinya ketegangan antara pengusaha dengan buruh.

Untuk maksud ini, lanjutnya, pemerintah harus menyiapkan gugus tugas (task force) yang bekerja langsung di bawah presiden. "Tugasnya menjembatani kepentingan pengusaha dan buruh," ungkapnya.
Share:

0 komentar: