PADA 1 Juni 2011 lalu, bertempat di Gedung MPR-RI, dilaksanakanlah peringatan Hari Lahir Pancasila. Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono hadir. Dua mantan Presiden, BJ Habibie dan Megawati, juga hadir. Acara itu merupakan prakarsa Ketua MPR RI, Taufik Kiemas, yang tak lain adalah suami Megawati Soekarnoputri.
Mereka semua berpidato tentang Pancasila. Intinya, menjelaskan kehebatan Pancasila dan perlunya bangsa Indonesia menegaskan komitmen dan kesetiaannya terhadap Pancasila.
Mengapa tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila. Apa yang terjadi pada tanggal itu?
Alkisah, pada tanggal 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh Soekarno (Bung Karno) dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.
Benarkah Bung Karno adalah orang pertama yang merumuskan Pancasila? Ternyata tidak! Tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, pada 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga mengandung usulan lima dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri-Ketuhanan (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.
Tidak ada perbedaan fundamental antara lima asas Yamin dengan lima dasar Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah, B.J. Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyimpulkan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin and not Soekarno’s.” (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).
Bahkan, tentang nama Pancasila sendiri, diakui oleh Soekarno ia mengkonsultasikan nama itu kepada seorang ahli bahasa, yang tidak lain adalah Muhammad Yamin. Dalam bukuSejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila(Inti Idayu Press, 1984) disebutkan, bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya. (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP, 1997),hal. 18-19). Juga, Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hal. 48-50).
Juga, sebagai catatan, soal penggali Pancasila sebenarnya hingga kini masih menyisakan perdebatan. Dalam rapat-rapat BPUPK, sebenarnya ada sekitar 30 anggota yang berbicara, termasuk Mohammad Hatta. Anehnya, hanya pidato 3 orang saja yang dimasukkan ke dalam buku Muhammad Yamin,Pembahasan Undang-undang Dasar Jilid I. Notulen rapat BPUPK semula dipegang oleh RP Suroso, lalu dipimjam oleh Adinegoro. Selanjutnya Muhammad Yamin meminjam dari Adinegoro dengan alasan akan diterbitkan, untuk itu perlu diedit. Sampai meninggalnya Yamin, naskah notulen tersebut tidak pernah muncul, sementara yang beredar di masyarakat adalah bukunya Yamin, yang hanya memuat pidato 3 orang saja. Bung Hatta pernah mengaku sangat kecewa dengan hilangnya notulen BPUPK tersebut.
Jadi, peringatan kelahiran Pancasila pada 1 Juni dan menyandarkannya pada Bung Karno, masih perlu penelaahan sejarah yang lebih serius. Bukti-bukti sejarah jutru menunjukkan, bahwa rumusan Pancasila resmi saat ini, sebenarnya lahir pada 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, lebih tepat jika hari lahir pancasila disebut tanggal 18 Agustus 1945. Tanggal 1 Juni adalah peringatan Pidato Bung Karno tentang Pancasila, dan bukan Hari Lahir Pancasila.
Sebelum rumusan resmi 18 Agustus 1945, sudah ada rumusan resmi Pancasila yang disepakati dalam BPUPK, yaitu rumusan Piagam Pancasila versi Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945). Bedanya, hanya terletak pada rumusan tujuh kata pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Karya bersama
Jadi, Pancasila sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian. Pancasila saat ini adalah kesil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Tokoh Masyumi, Mr. Mohamad Roem pernah mengingatkan kekeliruan pengkultusan seseorang dalam soal perumusan dan pemaknaan Pancasila. Di masa Orde Lama (1959-1965), pemikiran Soekarno banyak dijadikan sebagai tafsir baku terhadap Pancasila. Soekarno ditempatkan sebagai penafsir tunggal atas Pancasila. Padahal, menurut Mr. Mohamad Roem, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bukan lagi merupakan pikiran Soekarno semata. Ia telah merupakan buah pemikiran para anggota BPUPK, khususnya yang tergabung dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan).
Mr. Mohamad Roem, dalam orasi ilmiah saat Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara, Januari 1969, mengingatkan, bahwa dalam pidatonya di BPUPK, Soekarno sendiri yang berkata bahwa: “Pertama-tama Saudara, apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang?” Mohamad Roem kemudian menyatakan: “Pengetahuan bahwa Pancasila itu kata sepakat dari karya 62 orang “de beste zonen van het land” lebih menimbulkan rasa kepercayaan daripada anggapan yang di masa Orde Lama diindoktrinasikan, bahwa Pancasila hanya dikerjakan oleh satu orang saja. Dan kata sepakat itu dicapai dengan jalan yang sulit. Pertukaran pikiran berlangsung berhari-hari, kadang-kadang tegang. Tetapi senantiasa dalam suasana perdamaian, dengan penuh keikhlasan, didorong oleh kesadaran bahwa dalam saat yang bersejarah itu, mereka harus mendapatkan dasar bagi negara yang akan merdeka, yang tahan uji berabad-abad akan datang.” (Dikutip dari makalah Mohamad Roem, Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)..
Dalam buku berjudul Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, dimuat pidato-pidato Bung Karno saat memberikan kursus/kuliah umum tentang Pancasila di Istana Negara Jakarta dan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Kursus-kursus itu diselenggarakan oleh satu lembaga bernama “Liga Pancasila”. Dalam pidatonya, Soekarno antara lain menyatakan:
“Saya gali sampai jaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada jaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab… Jadi, empat saf, saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis, menembus jaman Islam, menembus jaman Hindu, masuk ke dalam jaman pra-Hindu.”
(Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, (Djakarta: Jajasan Empu Tantular, 1960),
Jika benar, bahwa Pancasila digali dari zaman pra-Hindu, dan bukan berasal dari zaman Hindu, Islam, atau era penjajah Barat maka, tentunya bisa dipertanyakan, bagaimana dengan aspirasi para tokoh Islam pada perumusan Piagam Jakarta – yang di dalamnya memuat naskah Pancasila -- pada Sidang BPUPK tahun 1945? Apakah benar, konsep itu murni hanya digali dari zaman pra-Hindu? Tentu saja pemahaman semacam ini tidak mudah dibuktikan kebenarannya dan lebih merupakan sebuah dogma. Sebab, kehebatan peradaban zaman pra-Hindu di Indonesia sendiri tidak mudah dibuktikan secara ilmiah. Pada 1 Juni 1945, Soekarno memang mengajukan rumusan Pancasila. Tapi, Pancasila rumusan Soekarno dan rumusan lainnya kemudian dirembukkan dalam rapat-rapat Panitia Sembilan BPUPK, dan kemudian keluarlah rumusan Pancasila yang berbeda dengan rumusan versi Soekarno.
Soal kemanusiaan, misalnya, sudah mengalami perubahan mendasar, dengan penambahan kata ”adil” dan ”beradab”. Kerakyatan juga dipimpin oleh ”hikmah”, bukan oleh suara terbanyak. Istilah ”adil”, ”adab” dan ”hikmah”, jelas bukan produk asli Indonesia. Bisa dipastikan, di bumi Indonesia tidak dikenal istilah dan konsep ”adil”, sebelum masuknya Islam ke bumi Nusantara ini. Kaum Muslim memahami istilah ”adil” sebagai ”meletakkan sesuatu pada tempatnya” sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Sebelum kedatangan Islam, di Jawa sudah berkembang agama Bhairawa Tantra yang diantara ritualnya adalah menyembelih dan meminum darah wanita secara berjamaah. Apakah ini juga produk asli Indonesia? Apakah budaya koteka juga produk asli Indonesia?
Teori “lapis budaya” yang dikemukakan oleh Soekarno juga pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Lihat, Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997), hal. 41.)
Jika konsep adanya “lapis budaya” ini diterima kebenarannya dan diaplikasikan dalam pemaknaan terhadap Pancasila, maka siapa pun kemudian bisa bertanya lebih jauh: jika agama di zaman pra-Hindu, yakni pada lapisan asli Indonesia, adalah animisme, maka apakah konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila sekarang harus dikembalikan pemaknaannya pada konsep animisme? Tentu saja tidak! Bung Karno sendiri menegaskan, ia adalah seorang Muslim, dan ia percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Ia katakan: “Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan? Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan, saya betul-betul percaya kepada agama Islam.” (Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, hal. 58)
Dalam sejarahnya, Partai Komunis Indonesia juga pernah menerima Pancasila, tetapi memberikan makna yang berbeda terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologinya. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ”kebebasan beragama”. Termasuk dalam ”kebebasan beragama” adalah ”kebebasan untuk tidak beragama.” Kasman mengingatkan:
”Saudara ketua, sama-sama tokoh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umumnya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!.” (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hal. 480-481).
Keberatan dan kecurigaan Kasman Singodimedjo dan para tokoh Islam lainnya di Konstitante dengan masuknya komunis ke kubu pendukung Pancasila memiliki alasan yang sangat masuk akal. Sebab, berbagai ungkapan Karl Marx dan Lenin memang menunjukkan kebencian kepada agama. Dalam buku kecil berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), sastrawan Taufiq Ismail mengutip sejumlah ungkapan Karl Marx dan Lenin tentang agama, seperti: “Agama adalah madat (candu) bagi masyarakat. Menghujat agama adalah syarat utama semua hujatan…” Juga, ungkapannya: “Agama harus dihancurkan, karena agama mengilusi rakyat dalam memperoleh kebahagiaan sejati…” Lenin juga berkata: “Setiap ide tentang Tuhan adalah semacam infeksi berbau busuk.” Juga, katanya, “Penyebaran pandangan anti-Tuhan adalah tugas utama kita. Kita harus memperlakukan agama dengan bengis. Kita harus memerangi agama. Inilah ABC materialisme dan juga ABC Marxisme.”
Bahkan, sebelum pemilu 1955, Mohammad Natsir sudah melihat gejala penafsiran Pancasila yang keliru dan kemudian digunakan untuk menyudutkan umat Islam. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita.” Natsir juga meminta agar tidak ada yang merasa berhak memonopoli penafsiran Pancasila dan juga mengharapkan agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2, hal. 150.).
Kini, di tengah maraknya seruan “kembali ke Pancasila” umat Islam Indonesia perlu mewaspadai dan bersikap antisipatif tentang upaya penyelahgunaan Pancasila untuk menyeret bangsa Indonesia ke kutub ateisme atau liberalisme. Di era liberalism saat ini, sudah muncul suara-suara yang menyatakan, bahwa salah satu makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “kebebasan untuk tidak beragama”. Dalam pidatonya di Konstituante, tokoh PKI, Ir. Sakirman mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esadiganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hal. 275).
Orde Lama dan Orde Baru diakui telah melakukan kekeliruan terhadap penafsiran Pancasila. Orde Reformasi masih “gamang” memahami dan menafsirkan Pancasila. Padahal, bagi kaum Muslim, makna Pancasila sejatinya sudah sangat jelas, jika diletakkan dalam konteks sejarah perumusan dan perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Orde Baru melakukan kekeliruan dengan meletakkan Pancasila sebagaiworldview, sehingga Pancasila bersaing dengan agama.
Jadi, bangsa Indonesia tidak perlu merumuskan “konsep Tuhan menurut Pancasila”, “konsep manusia menurut Pancasila”, “konsep alam menurut Pancasila”. Sebab, konsep-konsep itu sudah dirumuskan dalam agama. Menurut analisis Adnan Buyung Nasution, terjadinya polemik dan konfrontasi ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia, adalah akibat dikembangkannya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang komplek dan khas, sehingga berbenturan dengan pandangan dunia lain, seperti Islam. Lebih jauh, Adnan Buyung menulis:
”Saya berpendapat bahwa kejadian ini sebagian ada hubungannya dengan kenyataan bahwa sejak tahun 1945 dan khususnya pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum, Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan dunia yang kompleks, yang berbeda dengan padangan-pandangan dunia lain. Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para penganutnya. Karena itu, perkembangan Pancasila menjadi doktrin dan pandangan dunia yang khas sebenarnya tidak menguntungkan, kalau dinilai dari tujuannya mempersatukan bangsa.... Pancasila juga menjadi saingan utama bagi agama Islam, yang bagi para penganutnya merupakan wahyu Ilahi mengenai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat!” (Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 63-64.
Kesalahan lain Orde Baru adalah menjadikan Pancasila sebagai landasan amal. Padahal, bagi kaum Muslim, amal harus berlandaskan pada keimanan Islam. Jadi, tidak perlu dirumuskan, bagaimana tata cara bangun tidur menurut Pancasila, tata cara masuk kamar mandi menurut Pancasila, cara menggosok gigi menurut Pancasila, cara makan menurut Pancasila, cara menghormati tamu menurut Pancasila, cara berpakaian menurut Pancasila, dan sebagainya. Sebab, bagi kaum Muslim, semua amal perbuatan itu sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, yang tak lain adalah suri tauladan (uswah hasanah) kaum Muslim, termasuk suri tauladan Bung Karno, Megawati, Habibie, dan juga Pak SBY.(hidayatullah.com)
0 komentar:
Posting Komentar