Selasa, 02 November 2010

Menakar Kearifan Dayak Meratus

Meratus, merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan. Membentang sepanjang kurang lebih 600 kilometer persegi dari arah Tenggara dan membelok ke Utara, hingga perbatasan Kalimantan Timur.

Meratus menjadi bagian dari sembilan kabupaten di Kalsel. Masing-masing Kabupaten Kota Baru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong dan Balangan.
Meratus memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan beberapa vegetasi dominan seperti Meranti Putih, Meranti Merah, Agathis, Kanari, Nyatoh, Medang, Durian, Gerunggang, Kempas dan Belatung.

Kawasan hutan Meratus yang menjadi hulu sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS), menjadikan kawasan ini sangat penting bagi Kalsel sebagai wilayah resapan air. Selain itu juga menggambarkan tipe ekosistem hutan pegunungan yang lengkap.

Sepanjang kawasan Meratus, berdiam kelompok masyarakat adat Dayak yang dikenal dengan sebutan Dayak Meratus atau Suku Bukit. Sejak beratus-ratus tahun lampau, etnis inilah yang melakukan pengelolaan terhadap kawasan Meratus.

"Sebagaimana tanah, air, ladang, palawija dan makhluk hidup disekitarnya, hutan adalah satu bagian dari lingkaran kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus," ujar Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan LPMA Borneo Selatan, diketahui keseharian masyarakat adat Dayak Meratus penuh dengan kebijakan dan kearifan tinggi. Segala sesuatunya, dilakukan dengan penuh penghormatan kepada alam dan arwah leluhur sebagai penjaganya.

Bagi masyarakat adat Dayak Meratus, segala elemen kehidupan seperti air, api, tanah, udara, kayu, besi dan batu dikuasai oleh Dewa. Karena itulah, setiap usaha yang berhubungan dengan menggunaan elemen-elemen tersebut harus dilakukan dengan penghormatan dan permintaan izin terlebih dahulu.

Masyarakat adat Dayak Meratus tidak memiliki orientasi materialis dan sifat kompetitif. Sumber daya alam yang mereka butuhkan, hanya diambil secukupnya sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Kewelasasihan Dayak Meratus terbukti dengan tidak dikenalnya budaya ’ngayau’ (perburuan manusia) pada etnis tersebut. Meskipun budaya itu dahulu pernah dilakukan oleh sebagian besar etnis Dayak lain.

Masyarakat Dayak Meratus juga bukan etnis yang tamak dan memiliki kesadaran akan kemampuan diri sendiri. Hal tersebut tergambar jelas dalam hal penguasaan tanah. Pada masyarakat adat Dayak Meratus tanah dibagi luasannya sesuai kebutuhan dan kemampuan penggarap.

Masyarakat adat Dayak Meratus hidup berkelompok dalam satu wilayah Balai Adat. Setiap Balai, dihuni beberapa ’umbun’ (kepala keluarga).

Setiap ’umbun’ diberikan jatah tanah garapan masing-masing enam ’payah’ (ukuran luas, sekitar 3 hektar persegi). Jika perlu dan memang mampu, diperbolehkan untuk mengelola lebih dari itu.

"Sistem kepemilikan tanah didasari kesepakatan dan kepercayaan serta keyakinan pada aturan adat. Suatu hal luar biasa ketika hal itu sangat dipatuhi meski tidak tertuang dalam sebentuk aturan tertulis," katanya.

Batasan sebuah ’tambit’ (kepemilikan tanah), ditandai dengan penanaman tanaman keras seperti karet, kayu manis, rumpun bambu, kayu lurus, pohon pinang dan sungai. Penentuan batas ini berdasarkan kesepakatan antar pemilik lahan yang berbatasan langsung, sehingga sangat jarang menimbulkan masalah.

Masyarakat adat Dayak Meratus mengenal sistem kepemilikan tanah berdasarkan pewarisan, perkawinan, jual beli dan sewa. Berdasarkan pewarisan, tanah diberikan orang tua kepada anaknya berdasarkan kemampuan pengelolaan oleh sang anak, tanpa membedakan jenis kelamin.

Berdasarkan perkawinan, kepemilikan tanah dapat diberikan bila salah satu warga menikah dengan orang luar Dayak namun memutuskan untuk tetap tinggal di sana. Dalam kasus ini, diberikan izin pengelolaan tanah di sekitar Balai tempatnya tinggal.

Kepemilikan tanah berdasarkan jual beli, hanya berlaku untuk masyarakat dalam satu wilayah Balai Adat saja. Sedang sistem sewa, harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Adat, dengan syarat hanya untuk ditanami tanaman jangka pendek atau palawija.

Kepemilikan tanah bisa hilang bila si pemilik meninggal dunia atau ditinggalkan dalam waktu yang lama, sedang waktu ditinggalkan tidak ditanami tanaman keras.

"Tanah bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah asal muasal manusia. Karena itulah, tanah sebagai harta kekayaan mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dan tidak bisa diperlakukan sembarangan," ujar tokoh masyarakat adat Dayak Meratus, Mido Basmi.

Kearifan Pembagian Wilayah Hutan

Kedekatan masyarakat adat Dayak Meratus dengan alam, membuat mereka sangat mengenal lingkungannya. Dalam hal pengelolaan lahan, tanah dan hutan dikelompokkan dalam beberapa bentuk berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di tiap-tiap Balai, meski kadang dengan istilah yang berbeda.

Masih berdasarkan penelitian yang dilakukan LPMA Borneo Selatan, masyarakat adat Dayak Meratus memberlakukan wilayah ’katuan larangan’ (hutan larangan). Dalam wilayah itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan seperti ’bahuma atau manugal’ (bertani atau berladang) tidak diperbolehkan.

’Katuan larangan’ diperuntukkan dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur. Pohon di wilayah itu tidak boleh di tebang. Pemanfaatan hutan hanya sebatas hasil hutan non kayu.

Wilayah itu biasanya terletak di ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut. Kesadaran masyarakat adat Dayak Meratus tentang arti pentingnya alam bagi kehidupan, tidak hanya menjadikan wilayah itu sebatas persemayaman para leluhur.

Namun tujuan dari semua itu agar bisa berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi habitatnya dan penyedia sumber air.

Ada lagi wilayah ’katuan adat’ (hutan adat). Wilayah tersebut milik Balai yang sebagian boleh dibuka untuk ’bahuma’. Masyarakat sekitar Balai diperbolehkan menebang pohon untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar di wilayah itu.

Di wilayah ’katuan adat’ boleh ditanami tanaman perkebunan atau tanaman keras setelah tidak lagi dipergunakan untuk ’bahuma’. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ’jurungan’ atau wilayah bekas ladang yang ditinggalkan untuk kemudian didatangi kembali.

Sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan nilai-nilai kearifan lokal, Dayak Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya dengan nilai-nilai rohaniah. Karena itulah, mereka memberlakukan wilayah ’katuan karamat’ (hutan keramat) di wilayah Balai masing-masing.

Wilayah itu diperuntukkan khusus untuk kawasan pemakaman dan sama sekali tidak boleh dimanfaatkan selain untuk pemakaman para leluhur. Wilayah itu biasanya terletak di perbukitan atau disebut ’munjal’.

Masyarakat adat Dayak Meratus, selain ’bahuma’ juga berkebun. Karena itulah, diberlakukan wilayah khusus untuk ’bakabun gatah’ (berkebun karet).

Wilayah ini berbeda dengan ’pahumaan’. Di wilayah ini khusus ditanami pohon ’gatah atau para’ (karet) untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sedang ’pahumaan’ adalah kawasan yang ditanami tanaman jangka pendek seperti padi dan palawija.

Untuk kawasan pemukiman atau Balai, masyarakat adat Dayak Meratus hanya mengambil sebagian kecil saja dengan luasan kurang dari 2 hektar. Kawasan pemukiman biasanya terletak di daerah ’datar’ (lembah) atau ’taniti’ (perbukitan kecil) yang relatif landai dan dekat sungai.

"Adalah wajib bagi kami untuk mengetahui batasan wilayah-wilayah mana yang diperbolehkan dan tidak. Meski tidak diatur dalam hukum sebagaimana Undang-Undang, namun harus dipatuhi karena berhubungan dengan hukuman dari Tuhan," Mido Basmi menjelaskan.

Di percaya, bila ketentuan adat yang berlaku tersebut di langgar maka yang bersangkutan akan ’katulahan’ (kualat) yang berujung pada kesialan, petaka dan karma.

Kearifan Pemanfaatan Lahan

’Pahumaan’ atau ladang bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah sumber pangan yang sangat penting. Pemilihan lokasi ’pahumaan’ harus dilakukan dengan memperhitungkan dan mempertimbangkan banyak hal. Termasuk izin dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pemilihan atau pembukaan wilayah ’pahumaan’ tidak sama dengan pemilihan lahan yang hendak dijadikan huma. Huma adalah ladang yang di buka di wilayah ’pahumaan’ dan penentuannya bisa didapatkan melalui mimpi atau dengan mencari.

Melalui mimpi, para leluhur akan mendatangi dan memberitahukan dimana lokasi di wilayah ’pahumaan’ yang bagus untuk dijadikan huma. Dengan mencari sendiri, dilakukan melalui serangkaian upacara dan ritual adat.

Penentuan wilayah ’pahumaan’ terkadang melalui proses yang lama. Sebelum ditentukan, terlebih dahulu dilakukan pertemuan di Balai untuk memusyawarahkan bakal lokasi wilayah. Proses itu bisa memakan waktu berbulan-bulan sebelum dicapai kata sepakat.

Banyak hal yang harus diperhitungkan. Seperti kemiringan dan ciri-ciri tumbuhan yang ada untuk mengukur tingkat kesuburan tanah.

"Lokasi yang baik biasanya berada di daerah dengan ketinggian hingga 700 meter dari permukaan laut, di bawah wilayah ’katuan larangan’ dan ’katuan karamat’. Dengan begitu, para leluhur mudah untuk mengawasi dan menjaga wilayah tersebut," kata Juliade.

Padi yang suci hasil ’bahuma’, pantang untuk diperjualbelikan. Padi hanya untuk pemenuhan konsumsi saja dan untuk pemenuhan kebutuhan lain dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan seperti ’gatah’ (karet), damar, madu, rotan, ’paring’ (bambu) dan lain-lain.

Aktivitas ’manugal’ (menanam padi) tidak boleh dipandang remeh. Padi bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah suci. Sehingga prosesinyapun harus dilakukan dengan kesungguhan dan penghayatan serta melalui serangkaian ritual adat yang disebut ’Aruh’ (upacara).

Bahkan, alat pertanian yang akan digunakan untuk ’bahuma’, tak luput dari ritual adat. Sebelum membuka ladang, dilakukan pemujaan terhadap alat pertanian yang disebut ’mamuja tampa’ agar pengerjaannya nanti lancar.

Ada banyak rangkaian ritual adat yang dilakukan saat memulai aktivitas pembukaan lahan hingga panen. Semua ritual itu dilakukan oleh masing-masing Balai dengan istilah yang berbeda tapi dengan tujuan yang sama.

Puncak dari segala ritual dalam bahuma adalah Aruh Ganal (upacara besar) atau disebut juga Aruh Bawanang atau Aruh Balangatan, saat perayaan panen raya.

Aruh Ganal memiliki beberapa tahapan. Dilaksanakan mulai dari yang terkecil yaitu satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari, enam hari, 12 hari hingga terlama 20 hari. Setelah itu siklus Aruh Ganal kembali pada pelaksanaan dalam skala kecil yaitu satu hari dan seterusnya.

Aruh dan segala bentuk ritual adat yang dilakukan, bukan sekedar bentuk penghormatan terhadap leluhur belaka. Lebih dari itu, semua merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atau sebagian dari mereka menyebutnya Nining Batara, Jubata atau Duwata.

"Nining Batara tidak bisa digambarkan wujudnya dalam bentuk gambar atau patung misalnya. Nining Batara ada dalam hati dan diyakini serta dipercaya keberadaannya," ujar Mido Basmi.

Melalui pelaksanaan Aruh, generasi muda Dayak Meratus diberikan pembelajaran dan pemahaman tentang keseimbangan hubungan antara manusia, alam dan roh ghaib serta Sang Pencipta.

Masyarakat adat Dayak Meratus paham betul bahwa tanah memiliki keterbatasan tingkat kesuburan. Karena itu, pemanfaatannya dilakukan dengan bijaksana menggunakan pola ’gilir balik’ atau pada masyarakat sekarang disebut ladang berpindah.

Setelah pahumaan dibuka dengan cara menebang dan mebakar, lalu ditanami padi dan palawija satu hingga tiga kali tanam. Hal itu dilakukan untuk mengatasi tingkat kesuburan tanah dan menghindari erosi.

Lebih dari itu, kesuburan tanah akan berkurang sehingga harus dipulihkan terlebih dahulu dengan ditinggalkan. Setelah 10 hingga 15 tahun, ketika pepohonan kembali tumbuh, lokasi itu didatangi dan dibuka lagi.

Harmonisasi Tingkat Tinggi

Hutan adalah ibu pertiwi dan nafas kehidupan bagi masyarakat adat Dayak Meratus. Karena itulah, apa yang dilakukan pada hutan dan alam berbanding lurus dengan upaya pemeliharaannya.

"Hutan bagi masyarakat adat Dayak Meratus menjadi landasan ideologi, sosial, selain sebagai penunjang keberlangsungan hidup dan perekonomian. Sangat diyakini, Tuhan akan menurunkan bala bila dilakukan pengrusakan. Karena itulah, terjadi harmonisasi tingkat tinggi antara mereka dengan hutan dengan saling melindungi," kata Juliade.

Pemanfaatan hutan dan isinya diatur dalam hukum adat. Bagi yang melanggar, dikenakan sanksi. Pohon buah-buahan, pohon madu (pohon besar tempat lebah bersarang), pohon damar dan pohon keramat, dilarang ditebang. Pelanggaran terhadap ketentuan itu akan dikenakan denda yang diserahkan kepada pihak adat.

Dalam menebang pohon juga harus memperhatikan aspek-aspek keselamatan dan tidak merugikan orang lain. Bila pohon yang ditebang jatuhnya menimpa pohon buah-buahan baik milik sendiri maupun milik orang lain, harus membayar denda sesuai kerugian yang diakibatkannya.

Bila pohon yang ditebang roboh mengenai rumah atau pondok orang lain, juga akan dikenakan denda. Begitu pula pada proses pembakaran lahan, bila merembet hingga ke ladang orang lain maka dikenakan denda sesuai kerugian yang diakibatkannya.

"Pada masyarakat adat Dayak Meratus, terdapat lima prinsip dasar dalam pengelolaan sumber daya alam. Yaitu berkelanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, sub sistem dan kepatuhan pada hukum adat," Juliade menambahkan.

Melalui pelaksanaan kelima prinsip tersebut, masyarakat adat Dayak Meratus berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam. Meski tragisnya, pada masyarakat sekarang seringkali justru masyarakat adat Dayak Meratuslah yang dipersalahkan bila terjadi kerusakan hutan.

Menurut pengamat sosial budaya dan kemasyarakatan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Taufik Arbain, masyarakat adat Dayak Meratus meyakini kearifan lokal mereka sebagai bentuk komunikasi kepada sesama manusia, alam dan Tuhan.

"Patut dipuji kemampuan mereka dalam pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada masa depan dengan memperhatikan keberlangsungan hidup anak cucu kelak," ujarnya.

Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh manusia sekarang ini. Di mana pemanfaatan sumber daya alam lebih banyak berorientasi pada kekinian dan hanya untuk saat ini saja. Tak peduli apa yang akan ditinggalkan untuk anak cucu kelak.

Pola pikir yang sederhana melalui kearifan lokal yang di anut masyarakat adat Dayak Meratus, ternyata memberikan efek luar biasa. Kesederhanaan dari kearifan lokal itulah yang kini terbukti mampu menyelamatkan dan menjaga keberlangsungan kehidupan manusia sekarang.

Walaupun memang, bentuk kearifan lokal tersebut terbentuk atas dasar komfleksitas kebutuhan mereka yang relatif lebih kecil.

"Nilai-nilai kekeramatan yang terkandung dalam kearifan lokal mereka, terbukti memberikan dampak bagus pada lingkungan. Pengelolaan dilakukan secara bersama-sama untuk pemenuhan kebutuhan bersama, sehingga menciptakan keteraturan sosial," katanya.

Taufik menilai, alangkah baiknya bila manusia sekarang dapat merefleksikan kehidupan masa lalu melalui pemikiran-pemikiran serta kearifan lokal yang berorientasi masa depan dan tidak egois, seperti yang berlaku pada masyarakat adat Dayak Meratus. "Disitulah nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya dapat dikembangkan," tambahnya.

Begitulah, ditengah modernitas sekarang ini, masyarakat adat Dayak Meratus bertahan dalam kesederhanaan pola pikir dan kearifan lokal mereka. Meski tantangan yang dihadapi semakin kompleks dan berpacu dengan serbuan teknologi maju.

Meski seringkali, mereka dipersalahkan dan dijadikan kambing hitam.(kompas.com)
Share:

0 komentar: