Kamis, 23 April 2009

Golkar Hentikan Negosiasi Koalisi dengan Partai Demokrat

Ceraikan Demokrat, Pasang Kader di Tiap Poros

JAKARTA - DPP Partai Golkar akhirnya mengakhiri skenario duet SBY-JK. Itu dilakukan setelah rapat pengurus harian DPP Partai Golkar kemarin (22/4) memutuskan menghentikan negosiasi berkoalisi dengan Partai Demokrat. Keputusan tersebut diambil setelah sepekan terakhir tim negosiasi Golkar gagal meyakinkan SBY untuk menerima Jusuf Kalla (JK) sebagai calon wakil presiden.

Rapat selama tiga jam tersebut dipimpin langsung oleh Jusuf Kalla dan dihadiri Wakil Ketua Umum Agung Laksono, Sekjen Soemarsono, serta seluruh ketua bidang di DPP Partai Golkar. ''Setelah komunikasi politik yang intensif dengan tim Partai Demokrat, rencana koalisi untuk melanjutkan duet SBY-JK tidak didapat titik temu,'' kata Soemarsono.

Macetnya perundingan disebabkan adanya perbedaan mendasar tentang format koalisi. DPP Partai Golkar menghendaki hanya satu nama kader Golkar yang diusulkan sebagai cawapres. Bila usul itu diterima, DPP Partai Golkar akan mengupayakan agar keputusan tersebut berhasil lolos dalam Rapimnas Partai Golkar di Hotel Borobudur hari ini.

Namun, usul itu ditolak Partai Demokrat yang menilai usul tersebut hanya siasat DPP Partai Golkar untuk menyodorkan lagi nama JK sebagai satu-satunya calon wakil presiden. Demokrat menginginkan Golkar memberikan alternatif sejumlah nama cawapres yang secara resmi direkomendasikan partai pada SBY untuk selanjutnya dipilih salah satu di antaranya.

''Sesuai keputusan rapimnas pada 2008, Golkar hanya akan mengusulkan satu nama calon wakil presiden bila kalah dalam pemilu legislatif. Karena itu, Golkar tidak bisa membawa lebih dari satu nama cawapres. Sebaliknya, Demokrat bersikukuh minta lebih dari satu nama,'' ungkap Ketua DPP Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan DPP Partai Golkar Syamsul Muarif.

Menurut dia, keputusan hanya mengajukan satu nama tersebut ditujukan untuk menghindarkan perpecahan di internal partai. Selain itu, pemaksaan agar Golkar mengajukan lebih dari satu nama bertentangan dengan independensi Golkar sebagai partai yang berhak memiliki keputusan politik sendiri.

''Tim Golkar membawa pesan sesuai mekanisme partai, sementara tim Demokrat membawa pesan bahwa hanya owner Demokrat (SBY, Red) yang berhak mendikte (format koalisi),'' jelas Syamsul.

Karena negosiasi selama sepekan terakhir macet, rapat pengurus harian kemarin akhirnya memutuskan menghentikan negosiasi dengan Partai Demokrat. DPP Partai Golkar selanjutnya memberi mandat kepada JK untuk mendekati pimpinan-pimpinan partai lain guna membentuk poros baru menantang calon presiden dari Demokrat dalam pemilu presiden atau bergabung dengan poros yang sudah ada.

''Ketua umum harus bergerak cepat melakukan komunikasi politik karena waktu yang dimiliki Golkar hanya tersisa sehari. Sebab, hasil pembicaraan harus dilaporkan kepada pengurus daerah (di arena rapimnasus),'' ungkap Soemarsono.

Menindaklanjuti keputusan tersebut, kemarin petang JK bertemu SBY untuk menyampaikan keputusan DPP Partai Golkar. JK dikabarkan berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas kerja sama dengan SBY dalam pemerintahan selama empat tahun terakhir.

Meski demikian, dia berkomitmen untuk meneruskan kerja sama di pemerintahan sampai berakhirnya masa jabatan presiden-wakil presiden pada Oktober mendatang.

Ketika JK bertemu SBY, Ketua Dewan Penasihat Golkar Surya Paloh dikabarkan bertemu Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Dia ditugaskan melobi Mega agar membuka kembali rencana koalisi Golkar-PDI Perjuangan. Rencana koalisi tersebut sempat mati suri sejak Golkar memutuskan merapat ke Cikeas setelah kalah suara dalam pemilu legislatif.

Hari ini, JK juga dikabarkan akan menerima Ketua Dewan Pertimbangan Partai PDI Perjuangan Taufiq Kiemas dan Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung Wibowo. Sejumlah pengurus DPP Golkar membisikkan, bila koalisi itu terwujud, JK hampir dipastikan menjadi calon presiden dan wakilnya diusung dari PDI Perjuangan.

Itu sesuai kesepakatan di bawah tangan antara PDIP dan Golkar bahwa siapa pun partai yang berhasil mendapatkan suara lebih besar dalam pemilu legislatif akan didukung mendudukkan calon presiden, sementara partai yang lebih kecil suaranya mengusung calon wakil presiden. ''Jadi, cawapresnya belum tentu Bu Mega, tapi diajukan secara resmi oleh PDI Perjuangan,'' terang sumber di internal Golkar.

Bila dua partai tersebut bergabung, Golkar yakin akan mudah menarik dua partai pemenang pemilu lainnya, yakni Gerindra dan Hanura. Bahkan, bukan tidak mungkin rencana koalisi itu juga didukung PPP. ''Meski PPP kini masih dikuasai kubu Bachtiar yang pro-SBY, bisa saja di rapimnas PPP berbalik mendukung kubu Golkar-PDI Perjuangan karena kader-kadernya kecewa partainya telah diobok-obok partai pemenang pemilu,'' ungkapnya.

Menariknya, internal Golkar sendiri terbelah atas keputusan DPP Partai Golkar tersebut. Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar Marzuki Darusman menilai keputusan tersebut hanya keputusan sepihak DPP, bukan keputusan Golkar. Keputusan itu masih bisa berubah kalau rapimnasus memutuskan mencalonkan kader selain JK yang bisa diterima SBY. Misalnya, Akbar Tandjung.

Bila skenario itu diterapkan, berarti Golkar akan tetap berkoalisi dengan Demokrat. Namun, bila Akbar gagal meyakinkan rapimnasus, bisa jadi Golkar akan mengusung JK sebagai capres, namun Akbar Tandjung akan maju sebagai cawapres mendampingi SBY secara personal. Mungkin Golkar juga akan memasang Sultan HB X di PDIP bersama Megawati.

Itu berarti skenario tersebut akan persis dengan peta pemilu presiden 2004. Yakni, Golkar sengaja memasang tiga kadernya di setiap poros. Ketika itu, Golkar secara institusi mendukung duet Wiranto-Wahid.

Namun, dua kader Golkar disusupkan menjadi cawapres dari partai lain, yakni Siswono Judo Husodo sebagai cawapres mendampingi Amien Rais dan JK yang mendampingi SBY. ''Artinya, siapa pun pemenangnya, Golkar tetap akan ada di pemerintahan,'' ujar salah seorang petinggi DPP Golkar tersebut.

Tapi, skenario itu langsung ditepis Demokrat. Salah seorang anggota tim sembilan Demokrat, Hayono Isman, mengungkapkan bahwa SBY dan Demokrat hanya bersedia menerima calon presiden yang diusulkan secara resmi oleh partai. Demokrat tidak akan mengambil cawapres dari perseorangan seperti pada Pemilu 2004. Secara tidak langsung, Demokrat akan menolak Akbar Tandjung bila tidak direkomendasikan secara resmi oleh Partai Golkar dalam rapimnasus hari ini.

Staf Khusus Presiden SBY Heru Lelono mengaku heran atas sikap Golkar yang terkesan mendadak. Sebab, kalau keputusan untuk berpisah dari Demokrat diputus pada Selasa malam (21/4), lalu mengapa masing-masing utusan bertemu kemarin (22/4)? ''Dalam pertemuan, Golkar sudah membawa draf kesepakatan versi mereka dengan cawapres harus JK. Kalau tahu-tahunya Golkar sudah memutuskan berpisah (dari Demokrat), lalu kapan perwakilan Demokrat punya waktu lapor SBY dan membahasnya?'' katanya.

Sebab, lanjut dia, SBY saat ini sedang bekerja sebagai presiden dan tidak sedang mengurusi pemilu. Menurut Heru, sikap Golkar yang terkesan memaksa tersebut mirip Orde Baru. ''Saya rasa (sikap) itu bukan suara hati Golkar secara keseluruhan,'' tegasnya. Dia menambahkan, SBY berusaha bersatu untuk membangun bangsa, bukan sekadar mengurus kepentingan seseorang.

Politikus senior Partai Golkar Ginandjar Kartasasmita sangat kecewa atas sikap yang ditempuh para pengurus harian DPP Partai Golkar tersebut. Menurut dia, itu mengingkari keputusan partai yang akan menetapkan arah koalisi dan penentuan capres-cawapres melalui mekanisme rapimnasus Kamis hari ini.

''DPP Golkar sudah gegabah dan tidak demokratis. Mereka tidak mengindahkan suara daerah dalam persoalan yang begitu sangat mendasar bagi partai,'' ungkap mantan wakil ketua Dewan Penasihat Golkar yang kini menjadi ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu.

Tanpa sungkan-sungkan, Ginandjar mengkritik keras JK. Dia menyampaikan, JK seharusnya menaati peraturan dan mekanisme partai setiap mengambil keputusan. ''Golkar bukan sebuah perusahaan dan ketua umum partai bukan seperti pemilik perusahaan,'' tegasnya.
Share:

0 komentar: