Kamis, 19 Februari 2009

Rapat BUMN dengan DPR Sering Molor, Susah Kuorum

JAKARTA - Tak semua BUMN yang menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) menjadi ''bulan-bulanan'' anggota dewan. Kecuali Pertamina dan PLN, RDP dengan BUMN lain di sektor energi dan tambang di bawah Komisi VII jarang berlangsung garang. Di samping anggota dewan yang hadir relatif lebih sedikit, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pun relatif tidak menggigit.

Itu juga terjadi dalam RDP Komisi VII dengan BUMN tambang emas dan nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) di gedung DPR kemarin. RDP yang membahas kinerja ANTM itu dijadwalkan berlangsung pukul 14.00 WIB, tapi baru bisa dimulai sekitar 14.15. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana yang memimpin rapat mengatakan, rapat baru bisa dimulai setelah mencapai kuorum. Saat itu ruang Komisi VII masih kosong melompong.

Setelah membuka rapat, Sutan mengatakan, kuorum sudah terpenuhi karena sudah ada 36 anggota dewan yang membubuhkan tanda tangan di daftar hadir. Padahal, berdasar pengamatan Jawa Pos, saat itu hanya ada Sutan di meja pimpinan dan lima anggota dewan. Artinya, hanya ada enam anggota yang benar-benar hadir di ruang rapat. ''Penampakannya memang baru enam orang, tapi ini sudah kuorum. Teman-teman lain mungkin sedang salat atau masih makan siang,'' kilahnya.

Namun, hingga rapat usai, jumlah anggota dewan yang hadir tidak lebih dari sembilan orang. Beberapa anggota dewan memang tampak nongol di pintu ruang Komisi VII. Namun, mereka hanya melihat-lihat sebentar dan kemudian menghilang.

Setelah ribut dengan Pertamina pada RDP Senin (15/2) lalu, suasana RDP kemarin relatif sepi. Beberapa anggota Komisi VII yang terkenal keras seperti Tjatur Sapto Edy, Alvin Lie, maupun Effendi Simbolon, tidak hadir.

Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, kasus yang dialami direksi Pertamina sejatinya juga dialami hampir semua mitra kerja DPR. ''Ini momentum bagi anggota dewan untuk introspeksi,'' ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (18/2).

Dari pantauan Formappi selama ini, lanjut dia, hampir semua forum rapat kerja dengan menteri maupun RDP dengan mitra lain selalu bertele-tele dan membosankan. ''Forum rapat sering hanya jadi ajang pidato anggota dewan. Pidatonya pun sering tak menyentuh substansi persoalan,'' katanya.

Karena itu, forum rapat menjadi benar-benar tidak efektif. Di samping menghabiskan banyak waktu karena pertanyaan anggota dewan melebar ke mana-mana, rapat juga kerap tidak menghasilkan keputusan berkualitas. ''Nah, bagi mitra kerja yang jadwal kerjanya padat dan waktunya mepet, forum rapat ini seperti wasting time (buang-buang waktu) saja,'' terangnya.

Untuk itu, kata dia, DPR secara institusi harus mengatur dan mempertegas tata tertib dalam setiap rapat dengan mitra kerja. ''Bukan berarti dilarang ngomong banyak. Tapi, kalaupun ngomong, harus dalam konteks permasalahan yang dibahas. Selain itu, tidak sedikit anggota dewan yang kata-katanya sering tidak terkontrol. Ini harus diperbaiki,'' jelasnya.

Parameter lain yang harus ditertibkan adalah waktu rapat. Menurut dia, waktu rapat tidak jarang molor karena anggota dewan sering terlambat. Akibatnya, waktu berakhirnya rapat juga molor, sehingga mitra kerja yang memiliki jadwal mepet akan kerepotan dan sulit fokus. ''Waktu rapat ini dulu saja yang dibenahi. Kalau anggota dewan bisa disiplin waktu, itu sudah cukup bagus,'' ujarnya.

BK Terima Keluhan

Badan Kehormatan (BK) DPR menyatakan siap menerima pengaduan kedua belah pihak sebagai buntut ketegangan yang muncul pascarapat panas Komisi VII dengan direksi Pertamina. Baik Pertamina maupun kalangan DPR yang kecewa dipersilakan mengajukan pengaduan.

Wakil Ketua BK Gayus Lumbuun berjanji memprosesnya secara objektif. "Baik tuan rumah (DPR) maupun tamu (Pertamina) tetap kami dudukkan setara," ujarnya di Jakarta kemarin (18/2).

Namun, kata Gayus, sesuai tata beracara BK, pihaknya tidak akan mengambil posisi aktif. BK akan memproses perkara berdasar pengaduan. "Kami masih menunggu. Sampai sekarang belum ada pengaduan dari kedua belah pihak," ujar politikus asal PDI Perjuangan itu.

Lantas, bagaimana mekanismenya? Menurut Gayus, jika pengaduan disampaikan Pertamina, prosesnya seperti pengaduan terhadap kode etik DPR pada umumnya. Selama ini pengadu dan teradu dipanggil terpisah. Pengadu dipanggil terlebih dulu untuk didengar keterangannya.

Selanjutnya, BK melakukan verifikasi untuk menentukan teradu bersalah atau tidak. Seandainya teradu terbukti melanggar kode etik, rapat BK akan menentukan jenis sanksi yang diberikan. "Mulai peringatan sampai pemberhentian," paparnya.

Namun, jika pengaduan berawal dari pihak DPR, BK hanya sampai pada tahap menentukan bersalah atau tidak. "Silakan pimpinan DPR mengajukan pengaduan. Sebab, tugas BK memang tidak hanya menghukum anggota, tapi juga membela citra DPR," tegasnya.

Jika teradu diputus bersalah, BK akan menyerahkan hasil verifikasi lembaganya ke badan etik yang dimiliki Pertamina. "Setiap departemen atau lembaga kan pasti punya. Biar mereka yang menetukan sanksinya," ujarnya. Menurut Gayus, seandainya kasus rapat panas di Komisi VII jadi diadukan ke BK, laporan itu menjadi yang pertama dalam sejarah BK lima tahun terakhir. "Soal DPR dan mitra kerja ini kasus perdana," bebernya.

Dikonfirmasi apakah Pertamina akan mengadu ke BK, Vice President Pertamina Anang Rizkani Noor mengatakan, pihaknya belum bisa memutuskannya. Mereka masih menunggu perkembangan rapat pada 23 Februari nanti. ''Kami berharap forum pada 23 Ferbuari bisa menemukan solusi sehingga masalah tidak berlarut-larut,'' ujarnya.

Pada 23 Februari, Komisi VII DPR mengagendakan rapat untuk membahas dan meminta klarifikasi dari pihak Pertamina. Rapat ''perdamaian'' tersebut akan menghadirkan Menteri BUMN, Menteri ESDM, serta jajaran komisaris dan direksi Pertamina. (owi/dyn/oki)
Share:

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Mungkin pesangonnya kurang, biasa kan pejabat2 kita memang udah pada begitu

Anonim mengatakan...

Kumat lagi,,, kumat lagi

abinehanafi mengatakan...

sudah terlalu biasa tuh....