JAKARTA - Hasrat sejumlah calon presiden (capres) untuk bisa maju dalam pilpres mendatang harus dipendam. Itu terjadi karena Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan penghapusan persyaratan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Secara matematis, putusan itu bisa mengakomodasikan empat paket capres-cawapres. Namun, analis politik dari LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, maksimal muncul tiga capres saja. Bahkan, menurut dia, tak tertutup kemungkinan hanya dua capres, yaitu SBY dan Megawati.
''Ini bergantung kepada hasil pemilu legislatif dan peta koalisi. Kalau di satu sisi semua mengumpul ke kubu SBY dan yang lain bergabung dengan Megawati, ya sudah, nggak ada capres ketiga,'' katanya.
Kalau muncul satu lagi, itu akan menjadi milik calon alternatif yang hampir pasti lahir dari rahim koalisi partai menengah atau Golkar. Padahal, belasan tokoh sudah mendeklarasikan diri sebagai capres.
Mahkamah Konstitusi menilai, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden RI dalam UU 42/2008 merupakan kebijakan turunan dari konstitusi. Sifat UUD 1945 adalah terbuka. Karena itu, MK berpendapat bahwa kebijakan yang dibuat pembuat undang-undang telah sesuai dengan konstitusi.
''Menyatakan menolak permohonan Saudara Saurip Kadi (pemohon I), PBB (pemohon II), Partai Hanura, PDP, PIS, Partai Buruh, PPRN, dan Partai RepublikaN (pemohon III), untuk seluruhnya,'' kata Ketua MK Mahfud M.D. dalam pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta, kemarin (18/2).
Pembacaan putusan tersebut ditetapkan delapan hakim MK. Dari pemohon, turut hadir Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum PBB, capres alternatif Sutiyoso yang mewakili PIS, dan Saudi Karip selaku pemohon I.
Tiga pemohon uji materi UU Pilpres itu mengajukan keberatan pada pasal yang sama, yakni pasal 9 UU 42/2008 tentang Pilpres. Syarat sebagaimana tersebut di atas dianggap merugikan hak konstitusional warga negara. Menurut pemohon, ketentuan pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, pasangan capres dan cawapres diajukan oleh parpol maupun gabungan parpol, sudah cukup mewakili syarat pencalonan.
Pemohon menilai, pembuat undang-undang hanya diberi mandat membuat tata aturan pencalonan, bukan syarat pencalonan melalui presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden).
Selain pasal tersebut, pemohon II dalam hal ini PBB juga meminta dihapuskannya pasal 3 ayat (5) UU a quo (sebagaimana tersebut). Pasal tersebut berbunyi, Pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu DPR, DPRD, dan DPD.
Pemohon berpendapat, pelaksanaan pemilu legislatif dan terpisah bertentangan dengan UUD 1945. Sesuai pasal 22E konstitusi, pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Tidak ada frasa yang meminta agar pemilu legislatif harus dilaksanakan lebih dulu sebelum pilpres.
Namun, MK berpendapat lain. Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dalam pembacaan pendapat mahkamah menyatakan, ketentuan pasal 9 UU Pilpres harus dilihat demi menegaskan sistem presidensial yang kuat dan mandiri. Berdasar penjelasan UU 42/2008 angka 1 Umum menyatakan, ambang batas yang ditetapkan bagi capres dan cawapres dilaksanakan dengan tujuan memperoleh dukungan kuat dari rakyat.
''Kebijakan delegasi pembuatan ambang batas telah dilegislasikan konstitusi melalui pasal 22E ayat (6) UUD 1945. Jadi, tidak benar jika konstitusi tidak memberikan mandat kepada pembuat undang-undang untuk membuat ambang batas,'' kata Arsyad.
Terkait gugatan penghapusan pasal 3 ayat (5) UUD 1945, MK juga menolak hal tersebut. MK berpendapat bahwa dalam mengambil keputusan harus bersandar pada ukuran yang tersusun atas berbagai prinsip, kebijakan, dan aturan. Pasal tersebut merupakan cara yang prosedural dan lazim dilakukan.
''Mahkamah menilai, apa yang disebut dengan hukum (pasal 22E) tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum, apalagi logika umum,'' terang Arsyad.
Meski begitu, mahkamah menilai ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal pemilu merupakan kebijakan yang buruk. Namun, mahkamah tidak dapat membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk bukan berarti inkonstitusional.
''Jika norma itu merupakan delegasi kewenangan terbuka, sekalipun buruk, mahkamah tidak berhak membatalkan,'' terang Arsyad.
Putusan menolak gugatan itu tidak bulat. Sebab, tiga hakim konstitusi, yaitu Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar, menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion). Ketiganya juga memberikan pendapat berbeda saat memutuskan penolakan capres independen sehari sebelumnya.
Akil Mochtar dalam pembacaan dissenting mewakili yang lain menyatakan, esensi pemilihan umum langsung bukan sekadar simbolik, tetapi harus kompetitif, berkala, luas, dan definitif. ''Undang-undang memang mengatur pemilu, namun bukan pemilu pada era Orde Baru yang seakan-akan pemilu,'' kata Akil.
Dalam hal itu, tiga hakim menilai, keputusan mahkamah tidak konsisten dengan putusan MK pada perkara sebelumnya. Pada putusan nomor 3/PUU-VII/2009 tentang Maluku Utara dan nomor 56/PUU-VI/2008 tentang capres independen, MK cenderung lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent (kehendak awal) UUD 45. Untuk perkara itu, MK hanya cenderung melihat pada konsistensi putusan penerapan threshold di pemilu legislatif.''Syarat threshold bagi kami tidak tepat. Sebab, pasal a quo (pasal 6A ayat (2) UUD 1945) tidak mengatur tentang persyaratan, melainkan masalah cara (pencalonan). Syarat yang sudah ada dalam pasal 6 UUD 1945 tidak dapat dicampuradukkan,'' terang Akil.
Setelah sidang, Yusril selaku kuasa hukum PBB menyatakan menerima putusan itu. Namun, yang menjadi ganjil adalah putusan MK yang dilakukan delapan orang hakim konstitusi. Menurut dia, UU MK menyatakan, dalam kondisi darurat, jika tidak ada sembilan hakim konstitusi, yang wajib memutuskan adalah tujuh hakim konstitusi.
''Tidak ada aturan bahwa putusan dilakukan delapan hakim konstitusi,'' kata dia. Pertanyaan itu pun sempat dia lontarkan sebelum pembacaan putusan.
Menjawab hal itu, Ketua MK Mahfud M.D. menyatakan, posisi hakim yang hadir memang hanya delapan. Namun, pembuat keputusan tetap sembilan hakim. Status Jimly Asshiddiqie selaku hakim konstitusi masih dinyatakan aktif oleh presiden, sampai hakim pengganti dilantik. ''Jadi, kami tetap sembilan orang,'' kata Mahfud.
Lain halnya dengan Yusril, Sutiyoso mengaku kecewa terhadap putusan tersebut. Menurut dia, masyarakat menginginkan nama-nama capres yang beragam. Dengan mekanisme UU Pilpres, yang maju pada 8 Juli mendatang adalah nama-nama yang itu-itu saja. ''Jujur, saya kecewa,'' kata Sutiyoso. Akibat putusan itu, dia juga yakin, semakin banyak masyarakat yang memilih golput pada pemilihan nanti.
Capres Alternatif
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Andrinoff Chaniago mengatakan, dengan persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional, sebenarnya masih bisa muncul empat pasangan calon dalam Pilpres 2009.
Dua kandidat capres, kata dia, yaitu SBY sebagai incumbent dari Partai Demokrat dan Megawati yang dijagokan PDIP, tentunya sudah pasti fix untuk maju. Menurut Andrinoff, sejelek-jeleknya perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009, SBY tetap menjadi capres yang layak dijual. ''Kemungkinan, ketika berkoalisi, bargaining-nya agak lemah,'' katanya.
Sedangkan PDIP, imbuh dia, punya potensi besar untuk memperoleh suara signifikan, minimal 15 persen. Apalagi, citra PDIP jauh lebih baik dibandingkan saat Pemilu 2004. ''Ini modal awal yang sudah cukup untuk mengusung Megawati,'' katanya.
Lantas, siapa dua kandidat capres lainnya? Andrinoff menyebutkan, kandidat ketiga bisa muncul dari Partai Golkar. Tentu saja dengan tambahan dukungan dari parpol lain. ''Tinggal sekarang, dalam pertarungan kelompok yang ingin mempertahankan JK dan kelompok yang ingin memunculkan Sultan, siapa yang menang,'' ujarnya.
Adapun capres keempat bisa datang dari koalisi partai menengah dan kecil. Andrinoff melihat, peluang itu ada di PKS dan Partai Gerindra. Tokoh-tokoh PKS seperti Hidayat Nurwahid dan Tifatul Sembiring serta tokoh Gerindra Prabowo Subianto, kata Andrinoff, mempunyai potensi untuk tampil sebagai capres alternatif.
''Tapi, saya lihat, mereka juga masih ragu-ragu untuk menggalang koalisi. Mungkin dianggap terlalu berisiko. Tapi, semua kemungkinan bisa saja terjadi bergantung kepada perolehan suara masing-masing partai nanti,'' tandasnya.
Sekjen PDIP Pramono Anung juga berpikiran sama. Malah, dia memprediksi hanya muncul tiga pasangan calon presiden. Siapa yang ketiga? ''Selain SBY dan Megawati, bisa Sultan atau Wiranto sebagai capres ketiga,'' katanya. (sumber:jawa pos)






0 komentar:
Posting Komentar