Minggu, 04 Januari 2009

Khawatir Harga Bensin Turun Lagi, BBM Langka

JAKARTA - Rencana pemerintah menurunkan harga BBM secara berkala kini menimbulkan problem baru. Akibat kebijakan itu, saat ini BBM jadi barang langka di sejumlah daerah. Gara-garanya, sebagian pengusaha pemilik stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mengurangi jatah pengambilan di PT Pertamina (Persero).

Dirut Pertamina Ari H. Soemarno mengatakan, pengusaha mengurangi pengambilan BBM karena takut rugi. Sebab, sempat beredar kabar pemerintah kembali menurunkan harga BBM pada awal tahun ini. Karena itu, pengusaha tidak mau mengambil risiko untuk membeli dengan harga tinggi dan menjual keesokan harinya dengan harga rendah.

''Rupanya, para pengusaha SPBU itu banyak yang ragu akan terjadi penurunan (harga BBM) lagi. Jadi, mereka mengurangi pengambilan,'' ujarnya di Jakarta kemarin (3/1).

Berdasar catatan Pertamina, beberapa SPBU memang mengurangi stok sebelum 1 Januari 2009�karena khawatir adanya penurunan harga premium. Itu terlihat dari menurunnya permintaan SPBU di Jabodetabek yang biasanya 11.000 kiloliter (KL) per hari menjadi 7.000 KL dalam beberapa hari terakhir.

Tentang sinyalemen terganggunya distribusi BBM akibat penggunaan sistem baru dalam penebusan BBM sejak 2 Januari, Ari membantahnya. Menurut dia, pada awal pelaksanaan sistem baru memang sempat ada kendala.

''Tapi, sudah jalan. Jadi, beberapa hari ini pengambilan (BBM) oleh SPBU turun karena pengusaha takut harganya turun. Mereka takut rugi,'' katanya. Agar kelangkaan tidak terjadi lagi, Pertamina memberikan kredit kepada SPBU agar mereka bisa mendapatkan BBM tanpa perlu membayar terlebih dahulu.

Di bagian lain, harga minyak dunia dalam dua pekan terakhir kembali menanjak. Sejak menyentuh harga terendah USD 32,4 per barel pada 19 Desember, harga minyak di Bursa Berjangka New York (NYMEX) terus melonjak. Pada perdagangan awal tahun di pasar NYMEX Jumat lalu (2/1), harga kontrak minyak jenis light sweet pengiriman Februari sudah menyentuh USD 46,34 per barel. Artinya, dalam dua pekan harga minyak sudah melambung 43,5 persen.

Pengamat perminyakan yang juga mantan Gubernur OPEC untuk Indonesia Maizar Rahman mengatakan, harga minyak berpotensi menuju ke USD 50 per barel. Menurut dia, tren harga pada 2005 hingga pertengahan 2007 yang bergerak di kisaran USD 50-USD 70 per barel akan menjadi acuan dalam pembentukan harga pasar.

Pada kurun itu, kondisi perekonomian dunia cukup baik dan aksi spekulasi belum menggejolak. ''Becermin dari itu, jika perekonomian kembali membaik, harga minyak akan kembali di USD 50-USD 70 per barel,'' ujarnya kemarin (3/1).

Namun, dia menilai proses perbaikan ekonomi global akan makan waktu. Karena itu, harga minyak cenderung naik bertahap. Dia memperkirakan, pada semester II 2009, harga minyak berfluktuasi di level USD 50-USD 60 per barel. ''Jika ekonomi membaik, harga minyak pada 2010 berkisar USD 60-USD 70 per barel,'' terangnya.

Di pasar NYMEX, kontrak minyak jenis light sweet memang cenderung naik. Jika pengiriman Februari di posisi USD 46,54 per barel, kontrak untuk Juni sudah USD 54,73 per barel. Bahkan, untuk kontrak pengiriman Desember 2009, harganya bertengger di USD 60,29 per barel.

Suharso Monoarfa, anggota Komisi VII DPR yang membidangi energi, menambahkan, naiknya harga minyak lebih disebabkan keengganan AS dan Jepang menggunakan cadangan minyak strategisnya. ''Akibatnya, demand sempat ketat sehingga mendorong harga naik,'' ujarnya.

Selain itu, negara-negara produsen minyak juga akan menjaga harga agar tetap di atas biaya produksi price, sehingga mereka tidak merugi. Dia mencontohkan, patokan oil break even price Arab Saudi ada di USD 30 per barel. ''Asal di atas itu, produsen minyak masih untung. Karena itu, kalaupun naik, saya kira maksimal jadi USD 50 per barel,'' katanya.

Terkait memanasnya situasi di Jalur Gaza akibat serbuan Israel, Maizar menilai itu hanya menjadi sentimen sesaat. Sebab, konflik tersebut tidak berpengaruh kepada pasokan minyak dunia. ''Lokasinya jauh dari sumber produksi minyak,'' ucapnya.

Pengaruhnya baru akan signifikan jika sudah mengbambat suplai. Misalnya, jika konflik itu melibatkan Iran, atau jika jalur distribusi seperti Selat Hormos (di Laut Merah) terganggu. ''Sebab, 70 persen distribusi minyak kawasan Timur Tengah melewati selat tersebut,'' paparnya.

Hati-Hati Susun APBNP

Kenaikan harga minyak mendapat perhatian serius parlemen. Wakil Koordinator Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, pemerintah harus menyikapi fluktuasi harga minyak secara hati-hati. ''Saya sudah bilang ke Menkeu (Sri Mulyani) soal ini,'' ujarnya kemarin.

Menurut Harry, besarnya eksposur minyak terhadap postur APBN membuat fluktuasi harga minyak sangat berpengaruh. Karena itu, dalam penyusunan asumsi harga minyak untuk APBN-Perubahan 2009, pemerintah harus berpikir ke depan. ''Artinya, jangan sampai harga rendah saat ini menjadi acuan utama,'' katanya.

Jika pemerintahan baru AS di bawah Barrack Obama bisa membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro pasar, pemulihan ekonomi diperkirakan bisa lebih cepat. ''Jika demikian, demand minyak akan naik, begitu pula harganya. Bahkan, akhir tahun ini bisa jadi tembus USD 80 per barel,'' terangnya.

Harry mengakui, rendahnya harga minyak dibanding asumsi APBN 2009 di level USD 80 per barel menghasilkan penghematan signifikan. Dia menyebut, setiap harga patokan minyak Indonesia (ICP) turun USD 10 per barel, penghematan subsidi BBM mencapai Rp 1 triliun.

Karena itu, lanjutnya, jika rata-rata harga ICP pada Januari USD 50 per barel, penghematan subsidi BBM sepanjang Januari bisa Rp 3 triliun. ''Jika 50 persennya digunakan untuk menurunkan harga BBM bersubsidi, harga premium bisa Rp 4.800 dan solar Rp 4.300,'' paparnya.

Meski demikian, pihaknya menyarankan agar pemerintah tidak menggunakan seluruh penghematan subsidi untuk menurunkan harga BBM bersubsidi. Artinya, harus ada sebagian yang disisihkan sebagai bantalan untuk berjaga-jaga seandainya harga minyak kembali naik. ''Jangan sampai kejadian seperti 2008 terulang. Saat harga minyak naik, pemerintah terpaksa memotong anggaran belanja kementerian dan lembaga hingga 10 persen,'' ujarnya.

Dia mengusulkan agar rencana pemerintah mengevaluasi harga BBM bersubsidi setiap bulan direvisi. Menurut dia, lebih ideal jika evaluasi harga BBM bersubsidi dilakukan tiap tiga bulan. ''Dengan begitu, pemerintah bisa memiliki acuan yang lebih pas,'' katanya. (owi/oki)
Share:

0 komentar: