Rabu, 24 Desember 2008

UU 10/2008 Pemilu Hasil Kompromi Politik

SURABAYA - Beragam kontroversi seputar UU 10/2008 tentang Pemilu terus bermunculan. Sejumlah kalangan menilai banyak kejanggalan dalam UU itu. Bukan hanya bagi para peserta pemilu, tapi juga para pelaksana aturan di tingkat daerah, baik KPU provinsi maupun kabupaten/kota merasa aturan tersebut tidak sinkron.

Menurut mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, kejanggalan tersebut tak lepas dari banyaknya kompromi politik di parlemen saat UU itu digodok. "Diakui atau tidak, UU 10 ini adalah produk kompromi. Penetapan pasal disesuaikan dengan keinginan parpol-parpol besar," kata Ramlan dalam bedah buku yang dia tulis, Perekayasaan Sistem Pemilu: Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis.

Dalam acara itu, Ramlan didampingi Anggota KPU Jatim Arief Budiman, pakar politik Unair Kacung Marijan, serta Wakil Ketua BPP Partai Demokrat Jatim Suhartono.

Dijelaskan Ramlan, cukup banyak potensi masalah yang tidak dimasukkan dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) pada saat pembahasan RUU itu.

Alhasil, produk UU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satunya penetapan jumlah kursi di tiap daerah yang ternyata tidak sesuai. "Ada daerah yang jumlah penduduknya setara 27 kursi. Tapi, dalam UU itu maksimal tiap dapil hanya 12 kursi. Kan lucu," katanya.

Sedangkan Arif Budiman menyoroti kemungkinan terjadinya gugatan pemilu. Dengan kondisi UU yang multitafsir itu, sangat mungkin semua partai (38 partai) akan mengajukan gugatan. "Jika ini yang terjadi, pascapemilu nanti, MK (Mahkamah Konstitusi) harus menyelesaikan 1,5 kasus dalam sehari," ujarnya.

Hal itu diamini Suhartono. Dia juga menyoroti soal pembagian sisa suara partai yang rawan konflik. Sebab, dalam UU tidak diatur. "Sehingga semua tergantung sistem yang dipakai partai masing-masing. Ini juga rawan konflik," katanya. (ris)
Share:

0 komentar: