Gemas Lihat Malika Menyusut Tiap Musim Pilkada
Saat krisis finansial global tak jelas kapan ujungnya seperti sekarang, guru besar UGM Prof Dr Mary Astuti kian rajin turun ke pematang. Dia berkampanye agar petani mau menanam kedelai, komoditas impor yang saat krisis makin membebani negara.
RIDLWAN HABIB, Jogja
BIJI hitam itu tampak mengkilat. Ketika diraup dengan dua tangan, varietas kedelai temuan Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut terlihat bersih. Tidak meninggalkan bekas di telapak tangan.
''Ini namanya Malika. Varietas unggulan kedelai hitam setelah 15 tahun tidak ada varietas baru,'' ujar Prof Dr Mary Astuti kepada Jawa Pos di ruang kerjanya di Fakultas Teknologi Pertanian (TP) UGM pekan lalu.
Di fakultasnya, Mary saat ini memimpin Lembaga Pengembangan Teknologi dan Manajemen Industri (LPTMA). ''Sekarang bersama teman-teman di fakultas lain, kami berupaya memperluas area penanaman kedelai hitam Malika ini,'' katanya.
Gara-gara kecintaannya selama belasan tahun menggeluti ilmu kedelai, di kampus Mary sering dipanggil para koleganya sebagai profesor tempe. ''Saya memang membuat disertasi tentang tempe saat kuliah di Tokyo University, 18 tahun yang lalu,'' ujarnya.
Mengapa dia menulis disertasi tetang tempe? Memang ada cerita tersendiri. Saat itu, kebetulan profesor pembimbingnya di Jepang pernah terkesan saat mencicipi tempe. Mary lalu ditantang untuk menjabarkan tempe secara metodologis dan ilmiah.
Setelah bekerja keras, disertasi berjudul Bioavailability in Traditional Fermented Soy Bean itu bisa dia selesaikan. Dia lalu diwisuda sebagai doktor pada 1992.
Sejak itu, ke mana-mana Mary selalu promosi tempe. Dia laris diundang ke berbagai seminar internasional di berbagai negara. ''Karena bolak-balik ngomong kedelai dan tempe, jadi ya dipanggil profesor tempe. Saya tidak malu, justru bangga,'' tegasnya.
Hingga pertengahan bulan ini, Mary dan koleganya sudah mendampingi 7.110 petani dengan total lahan garapan seluas 1.775 hektare. ''Basis kuatnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebutuhan kedelai nasional kita itu 40 persen ditopang petani-petani dari Jawa Timur,'' katanya.
Mary mendampingi petani sejak proses penyiapan lahan, penanaman, sampai teknologi pascapanen. ''Sangat banyak yang harus dibenahi,'' ujarnya.
Dia mencontohkan, petani kedelai tradisional biasanya menanam kedelai hanya dengan menyebar benih secara acak . ''Hanya disawur saja, pyur, pyur. Yang hidup berapa, nggak jelas,'' ungkapnya.
Demikian juga, saat panen dan pascapanen, petani terkadang menyepelekan cara memanen dan metode penyimpanannya. ''Padahal, di negara-negara lain justru sangat teliti pada proses ini. Sedangkan petani kita yang penting dipetik, terus payu didol (laku dijual),'' ujar wanita kelahiran Solo 60 tahun lalu tersebut.
Pelan tapi pasti, tim pimpinan Mary menyuluh petani. Dia bersyukur, di Nganjuk dan Trenggalek (Jatim), petani bisa panen 2,5 ton per hektare. ''Produksi kedelai Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara lain,'' katanya.
Sebagai negeri penghasil tempe yang membutuhkan bahan baku kedelai, Mary berharap suatu saat produk kedelai di tanah air bisa menyusul negara produsen utama. Amerika bisa memproduksi 28,7 juta ton per tahun, Kanada (20 juta ton), dan Tiongkok (18 juta ton). ''Indonesia hanya mampu 800 ribu ton. Padahal, total kebutuhannya 2,2 juta ton per tahun,'' katanya.
Dengan kenyataan itu, kedelai yang ditemukan Mary dan para peneliti UGM tersebut kemudian dinamakan Malika. ''Artinya kerajaan. Kami ingin mengembalikan kejayaan kedelai di Indonesia seperti pada masa lampau,'' tegasnya.
Berdasar penelitiannya, kedelai masuk ke Nusantara berkat jasa para pendeta Buddha asal Tiongkok. ''Pusatnya memang Tiongkok Utara, lalu menyebar ke mana-mana dibawa para biksu yang vegetarian. Jadi, di lokasi baru, mereka bersosialisasi dengan penduduk dan memberi alternatif makanan selain daging,'' jelasnya.
Salah satu dokumen sejarah yang memuat cerita tentang kedelai juga ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 M). ''Di rumah Ki Sido Pekso itu ada butir-butir biji yang deskripsinya sama dengan kedelai,'' tuturnya.
Ki Sido Pekso adalah suami Dewi Sri Tanjung yang menuduh istrinya berselingkuh dengan raja. Sambil menangis, dia bersedia dibunuh dengan syarat jika nanti ada bau wangi, berarti dirinya tidak bersalah. Sesaat setelah keris Ki Sido Pekso menancap di perut sang istri, Sri Tanjung melompat ke sumur dan airnya berubah berbau wangi. Cerita itulah yang menjadi cikal bakal nama Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Mary menambahkan, jejak kedelai hitam juga ditemukan di Tuban dan daerah aliran sepanjang Sungai Brantas. ''Mungkin karena diperdagangkan dan ditukar dengan bahan pokok lain,'' ungkapnya.
Dalam budaya Jawa, kedelai hitam juga dipakai dalam berbagai acara selamatan. Mulai acara pernikahan (kacar kucur) sampai kenduri karena ada orang yang meninggal. ''Sego liwet yang asli itu selalu ditaburi kedelai hitam di atasnya,'' ujarnya.
Berbekal fakta sejarah, kualitas lahan, dan potensi petani, Mary benar-benar gemas ketika kebutuhan kedelai nasional belum tercapai. ''Kita harus mengimpor beratus-ratus ton, padahal ladang kita mampu,'' katanya.
Kini, dia juga bersinergi dengan Unilever -produsen Kecap Bango sekaligus konsumen Malika- yang tertarik membantu mendampingi kaum tani. Mereka membeli langsung hasil panen berdasar kontrak. ''Unilever justru sangat senang membeli langsung dari petani, bukan dari pemasok,'' tegasnya.
Karena lokasi binaan yang jauh, Mary harus menyiapkan tenaga ekstra. Selain blusukan langsung ke sawah-sawah, dia harus menyeberang menggunakan rakit di tepi Sungai Bengawan Solo. ''Tapi, ya enjoy aja,'' ungkapnya.
Dia juga sering memonitor langsung perkembangan lahan lewat handphone serta berhubungan dengan Unilever melalui telekonferensi. ''Sejak pukul enam pagi sudah ngurus dele (kedelai). Malam sebelum tidur juga mikir dele lagi. Jadi, ya all day think about kedelai,'' ujarnya.
Tahun depan, saat pemilu legislatif dan pemilu presiden, Mary agak ketir-ketir. Sebab, berdasar pengalaman selama musim pilkada itu, petani cenderung ikut orang yang mengajak. Kalau ada tim sukses bagi-bagi benih (selain kedelai), mereka terpikat dan mengalihkan tanaman Malika-nya.
''Itu juga terjadi di Jawa Timur. Saat pilkada, luas lahan kedelai menyusut. Usut punya usut, mereka ganti nanam yang lain. Jadi, ada korelasinya antara politik dan kedelai,'' ungkapnya.
Mary sedang bekerja sama dengan Departemen Pertanian menyiapkan lembaga Dewan Kedelai Nasional yang akan fokus mengembangkan kedelai di Indonesia. ''Tidak hanya hangat-hangat tahi ayam,'' tegasnya. (el)
Kamis, 25 Desember 2008
Home »
KISAH SUKSES
» Mary Astuti, sang Penemu yang Bangga Dijuluki Profesor Tempe






0 komentar:
Posting Komentar