Jumat, 12 Desember 2008

MA Kian Tak Terkontrol Sahkan UU MA

RUU Disahkan 18 Desember

JAKARTA - Di tengah pro-kontra yang belum reda, pembahasan revisi UU Mahkamah Agung (MA) segera menemui ujung. Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR kemarin (11/12) memutuskan untuk mengesahkan UU MA pada 18 Desember 2008. Tak pelak, keputusan tersebut langsung menuai penolakan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP).

Dengan keputusan itu, menurut Ketua Panitia Kerja Revisi UU MA Pattaniari Siahaan dari FPDIP, hampir dipastikan kontrol terhadap MA kian lemah. Mengapa? Sebab, paket UU Kehakiman yang terdiri atas UU MA, UU Komisi Yudisial (KY), dan UU Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dibahas dan disahkan secara bersamaan.

''Masalah yang substansial itu adalah pengawasan terhadap hakim agung. Karena itu, seharusnya disahkan (UU MA) bersamaan dengan revisi UU KY,'' ujarnya saat menerima Koalisi Reformasi Peradilan di ruang FPDIP kemarin (11/12).

Pattaniari juga meyakinkan bahwa KY akan banyak menganggur selama tiga tahun ke depan. Sebab, pasal batas usia maksimum pensiun hakim agung disepakati 70 tahun. Saat ini, ada sejumlah hakim agung yang berusia 67 tahun. Seharusnya, dengan UU lama, mereka sudah pensiun.

Tapi, dengan UU baru, hakim sepuh tersebut masih bisa bertahan tiga tahun ke depan. ''Bahkan, mereka bisa mencalonkan diri sebagai ketua MA,'' katanya.

KY merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menyeleksi calon-calon hakim agung. Dengan UU MA yang baru, dipastikan tidak ada perekrutan hakim agung selama tiga tahun ke depan. ''KY akan menganggur selama tiga tahun itu,'' tegasnya.

Pattaniari menambahkan, KY Indonesia tidak dikonsep seperti di Afrika Selatan. Di sana, KY melakukan perekrutan hakim hingga ke tingkat pengadilan negeri.

Masalah lain yang akan muncul dengan UU MA yang baru, kata dia, adalah kekhawatiran permintaan penambahan usia pensiun hakim di lembaga peradilan lain. Misalnya, MK dan KY. ''Karena UU-nya masih dibahas, saya khawatir mereka (hakim MK dan KY) juga minta disamakan (usia pensiunnya) dengan hakim agung,'' paparnya.

Karena itu, FPDIP bersikeras menolak pengesahan revisi UU MA pada 18 Desember 2008. FPDIP melihat masih banyak klausul yang belum disepakati. ''Meski sudah diputuskan dalam bamus, prosesnya belum berakhir. Bisa saja nanti kami perjuangkan voting di paripurna,'' tegas Sekretaris FPDIP Bambang Wuryanto.

Pihaknya berjanji menggunakan sisa waktu sebelum paripurna pengesahan UU MA untuk melobi ke fraksi lain agar berdiri bersama FPDIP.

Koordinator Monitoring Peradilan ICW Emerson Yunto mengancam akan melakukan judicial review jika revisi UU MA tetap disahkan 18 Desember 2008 tanpa mengakomodasi substansi penting yang dikhawatirkan menghambat reformasi di lingkungan MA. ''Kami bersama teman-teman yang lain akan mengajukan uji materi ke MK,'' ancamnya.

Rapat Bamus DPR menjadwalkan pengesahan RUU MA pada rapat paripurna 18 Desember 2008. Namun, dengan catatan, komisi III telah menyelesaikan semua prosedur yang harus dilalui. ''RUU MA sudah booking tempat pada 18 Desember, dengan catatan komisi III telah menyelesaikan prosedur dengan sempurna,'' ujar Ketua DPR Agung Laksono usai memimpin rapat bamus.

Pengambilan keputusan tingkat satu antara komisi III dengan menteri hukum dan HAM dilakukan pada 16 Desember 2008. Jika forum tersebut menyepakati tidak ada masalah dengan substansi RUU, rapat paripurna 18 Desember akan mengagendakan pengambilan keputusan tingkat dua atau pengesahan. (cak/mk)
Share:

0 komentar: