Jumat, 05 Desember 2008

BI Rate Turun Waspadai Capital Outflow

Setelah BI Pangkas Suku Bunga Acuan

JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan BI rate mesti diiringi oleh sejumlah langkah lanjutan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Chief Economist BNI Tony Prasetiantono mengatakan, penurunan BI rate memang ibarat buah simalakama.

Meski di satu sisi bisa mendorong sektor riil, di sisi lain itu bisa mengancam posisi rupiah dalam kondisi seperti saat ini. Potensi keluarnya dana asing (hot money) yang selama ini hanya berharap pada suku bunga tersebut cukup besar, sehingga bisa membuat rupiah semakin tertekan.

Jadi, kata dia, sebenarnya hanya masalah momentum saja. "Tekanan pembelian USD bisa makin meningkat. Mestinya BI sabar menunggu hingga awal tahun depan untuk menurunkan BI rate," ujarnya di Jakarta kemarin (4/12).

Dari sisi inflasi, sambung dia, memang relatif aman. Inflasi kini sudah cenderung bisa dijinakkan, meski hingga akhir tahun Tony memperkirakan inflasi yoy tetap tinggi di level 11,6 persen. "Tetapi kurs rupiah yang masih di kisaran Rp 12 ribu per USD bukan modal yang cukup untuk menurunkan BI rate," jelasnya.

Namun, bisa jadi, BI memang sudah merasa bahwa kurs sekarang di kisaran Rp 12 ribu per USD merupakan ekuilibrium baru yang diharapkan. "Sehingga mereka (BI, Red) percaya diri untuk menurunkan BI rate, tanpa terlalu khawatir mengganggu kurs," tuturnya.

"Sedangkan saya berpendapat bahwa kurs rupiah mestinya Rp 11 ribu per USD, jadi kita masih harus berupaya untuk mencapainya lagi ke level itu," sambung Tony.

Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan, capital outflow memang harus diwaspadai agar rupiah tidak semakin terdepresiasi. Selain masalah BI rate, faktor penarik (pull factors) lain adalah masih belum adanya blanket guarantee. Hal itu mengkhawatirkan sebab, ada dana sekira Rp 600 triliun yang tidak termasuk dalam penjaminan oleh LPS.

Dana itulah yang dikhawatirkan bakal keluar ke perbankan di negara lain yang sudah memberlakukan penjaminan penuh, seperti Malaysia dan Singapura. Apalagi, telah jamak diketahui, sejumlah lembaga keuangan di negara-negara tetangga sudah mulai merayu para nasabah kakap di negeri ini untuk memindahkan simpanannya. "Selain itu,

"Para eksportir juga akan enggan menarik pulang dan mengkonversi simpanan mata uang asing yang mereka miliki ke tanah air," ujar doktor ekonomi alumnus Goettingen University, Jerman, itu.(eri/fan)
Share:

0 komentar: