JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali terperosok dalam. Di pasar uang antarbank Jakarta kemarin (2/2), kurs rupiah sempat tembus Rp 12.000 per dolar AS sebelum ditutup di level Rp 11.700-an. Padahal, sebelumnya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) merilis sejumlah jurus untuk meredam pelemahan rupiah.
Gubernur BI Boediono menyatakan, pelemahan rupiah masih disebabkan adanya faktor global, terutama akibat masih ketatnya likuiditas dolar. Karena itu, bank sentral akan tetap berada di pasar untuk meredam gejolak kurs.
''Itu karena ada faktor gejolak dolar AS. Tapi, mungkin juga ada faktor domestik karena ada kebutuhan dari dalam negeri,'' jelasnya dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR kemarin.
Menurut dia, bank sentral memiliki cukup pertahanan untuk menjaga nilai tukar rupiah cukup stabil. Selain cadangan devisa yang diperkirakan tahun ini mencapai USD 51 miliar, BI segera mendapatkan pertahanan lini kedua melalui perjanjian swap dengan Jepang lewat skema Bilateral Swap Arrangement (BSA).
Negosiasi dengan Negeri Sakura itu akan selesai dan ditandatangani bulan ini. Mengenai jumlahnya, Boediono belum mau menyebutkan. ''Kami kira, kalau semua berjalan lancar, bulan ini bisa ditandatangani,'' ujarnya.
Jika cadangan devisa tunai tidak mencukupi, BI bisa menggunakan swap tersebut. ''Jadi, kita akan pakai, kita pinjam dalam waktu beberapa bulan ke depan. Kita seakan-akan menjamin pinjaman ini dengan rupiah saja, kemudian pada saatnya kita kembalikan lagi,'' ungkapnya.
Selain Jepang, negosiasi sedang dilakukan dengan Tiongkok dan Korea Selatan. Namun, hasil negosiasi dengan negara-negara tersebut masih belum jelas. ''Kalau itu, sedang kami jajaki. Sedikit tidak terlalu konkret saat ini, tapi sedang berjalan,'' katanya.
Selain fasilitas swap, pinjaman siaga untuk APBN segera disetujui. Pinjaman siaga dari Jepang, Bank Dunia, ADB, dan Australia itu mencapai USD 5 miliar. Meski dananya untuk APBN, dolarnya akan masuk ke cadangan devisa setelah dikonversi ke rupiah. ''Itu budgetary support untuk masuk ke APBN,'' bebernya.
Waspadai Dampak Krisis
Di tempat terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah sidang kabinet terbatas yang membahas dampak penurunan harga BBM menyatakan bahwa pemerintah terus mewaspadai krisis global.
''Belum ada tanda-tanda resesi itu akan berakhir. Akibatnya, ekspor dari banyak negara ke negara tujuan ekspor itu juga menurun,'' ujarnya di Kantor Kepresidenan kemarin (2/2).
Ketika ekspor mengalami gangguan, lanjut dia, masalah yang dihadapi sektor riil berkaitan dengan gelombang PHK. ''Jumlah PHK di negara-negara maju sangat besar. Indonesia juga mengalami, meski menurut ukuran kita masih dalam batas wajar. Namun, harus tetap kita kelola sebaik-baiknya,'' tegasnya.
Dia menjelaskan, pemerintah juga mencermati anjloknya laju inflasi akibat krisis global. Inflasi akan membawa kebaikan bila tidak menyentuh batas tertentu. ''Tapi, kalau inflasi ini dropnya luar biasa, itu bisa memberikan dampak psikologis dan justru menghalangi sektor riil memproduksi barang dan jasa. Bisa bikin lesu, dan itu juga tidak baik bagi eksistensi serta keberlanjutan sektor riil,'' ungkapnya.
Karena itu, penerapan tujuh langkah antisipasi dampak krisis global tetap berlaku. Terutama menyangkut kebijakan stimulus yang diharapkan bisa berdampak positif bagi dunia usaha. ''Dalam keadaan seperti ini, kecepatan dan ketepatan menjadi penting,'' kata SBY.
Dia memaparkan, bersamaan dengan penurunan tarif listrik untuk industri, sebagian komoditas dan bahan-bahan pokok mengalami penurunan secara sistematis. Perhatian utama pemerintah adalah menjaga daya beli masyarakat, terutama petani, buruh, maupun PNS. Selain itu, dengan tiga kali penurunan harga BBM, sebagaimana dilaporkan Menko Perekonomian dan Menteri Perhubungan, tarif angkutan sudah dikoreksi 10-20 persen.
Mengenai kebijakan lanjutan pemerintah pascakoreksi harga BBM, SBY menyebut prediksi dari berbagai lembaga internasional menunjukkan harga minyak Indonesia (ICP) selama 2009 akan berkisar USD 40-USD 60 per barel. Itu sesuai harga BBM yang ditetapkan pemerintah saat ini. (sof/iw/oki)






0 komentar:
Posting Komentar