Jumat, 30 Januari 2009

Disambar Baling-Baling Helikopter, Dua Mekanik Tewas

JAKARTA - Kecelakaan kerja terjadi di Bandara Pondok Cabe, Tangerang, kemarin. Sebuah helikopter Super Puma milik maskapai carter Pelita Air Service (PAS) yang sedang "diperiksa" mendadak oleng dan berjungkir balik di tanah. Akibatnya, dua mekanik tewas tersambar baling-baling heli, sementara pilot dan seorang teknisi lain yang berada di kokpit selamat.

Kedua korban tewas adalah Ahmad Suparja, 54, warga Kampung Gondrong, Tangerang; dan Sri Setiabudi, 44, warga Perumahan Bumi Pelita Kencana Blok A Pondok Cabe, Tangerang, Banten. Untuk keperluan otopsi, kedua jenazah dievakuasi ke RS Fatmawati. Sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menyelidiki penyebab kecelakaan yang terjadi pukul 10.00 WIB tersebut.

"Kami sudah mengirimkan dua investigator untuk menyelidiki kecelakaan itu, yaitu Capt Toos Sanitioso sebagai Inspector In Charge (IIC) dan Sulaeman," ujar Ketua KNKT Tatang Kurniadi saat dikonfirmasi kemarin.

Heli nahas bernomor registrasi PK-PUH itu bukan terjatuh dari udara. Kecelakaan terjadi saat heli masih menjejak tanah di depan hanggar. Heli itu diperkirakan terbalik karena kehilangan keseimbangan. "Helikopter tidak sedang terbang atau hendak terbang, tetapi sedang pemeriksaan rutin," terang Tatang.

Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Perhubungan Bambang S. Ervan menambahkan, selain KNKT, Dephub mengutus dua inspektur untuk menyelidiki peristiwa ini. Yakni seorang pilot yang bertindak sebagai principal operations inspector (POI) dan seorang teknisi sebagai principal maintenance inspector (PMI). "Keduanya utusan dari Direktorat Kelaikan Pesawat dan Operasi Penerbangan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara," ungkapnya.

Bambang menjelaskan, informasi yang diterimanya, heli yang dipiloti Capt. Rahman Adi itu oleng ke kiri dan terjatuh saat melakukan ground run up. Itu adalah pemeriksaan rutin untuk mengecek segala fungsi peralatan tanpa harus diterbangkan.�"Bisa dibilang, saat mesin dihidupkan, helikopter kehilangan kendali dan langsung terguling. Banyak teori yang bisa menjadi penyebab kecelakaan ini," jelasnya.

Beberapa pendekatan mungkin bisa memperkirakan menjadi penyebab kecelakaan. Di antaranya, menurut Bambang, putaran RPM (rotation per minute) yang tidak sama antara baling-baling utama dan baling-baling belakang. Atau, baling-baling belakang mati sehingga tidak ada penahan dorongan angin dari baling-baling utama. "Selain itu, heli jenis Puma kan baling-baling utamanya bisa miring ke kiri atau ke kanan. Tidak seperti Bolco yang fixed (tetap). Barangkali kemiringannya terlalu tajam. Bisa karena operatornya atau baling-balingnya yang nggak benar," tambahnya.

Setelah kejadian itu, heli Super Puma berwarna dasar putih dengan strip merah bertuliskan Pelita Air itu langsung ditutupi dengan terpal biru. Heli nahas itu dikabarkan rusak parah. Empat ruas baling-baling utama patah, sementara bodi penyok. Kaca kiri dan depan juga hancur. Itu bisa dimaklumi, karena heli tersebut terempas dengan keras ke tanah. Evakuasi dilakukan sekitar pukul 12.30. Heli ditarik ke dalam hanggar.

Sementara itu, kondisi kedua jenazah cukup mengenaskan. Tubuh Ahmad Suparja terpotong di beberapa bagian. Sedangkan tubuh Sri Setiabudi terbelah di bagian dada dan tangan kiri. Keduanya tewas akibat terkena baling-baling helikopter.

Corporate Secretary Pelita Air Service Guntur Winarko mengatakan, PAS siap memberikan asuransi kepada dua teknisi yang tewas tersebut. "Ini termasuk kecelakaan kerja, asuransi ditanggung Jamsostek. Hitung-hitungannya kita masih belum bisa jawab," tuturnya.

Guntur mengungkapkan, heli Super Puma tersebut buatan Prancis 1983. Heli tersebut selama ini disewakan, baik untuk jangka panjang atau pendek. Penyewanya rata-rata perusahaan migas. Heli yang menewaskan dua orang tersebut, menurut dia, masih layak terbang. Terakhir kali digunakan pada 27 Januari lalu. "Ini musibah, teknisi memang harus dekat heli. Prosedurnya memang seperti itu. Tapi, apakah ini human error atau apa, kita masih selidiki," jelasnya.

Super Puma yang dipakai Pelita Air sebenarnya rakitan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) -yang berganti nama menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia)- atas lisensi Aerospatiale, Prancis. Super Puma dibuat sebagai versi yang lebih besar dari model sebelumnya, Puma. Helikopter jenis ini sangat laku di seluruh dunia. Lebih dari 1.000 perusahaan memiliki helikopter itu, dan lebih 37 negara memiliki versi militernya. Sejak 1990, versi militer Super Puma mendapat nama baru: Cougar. (wir/nw)
(sumber: jawa pos)
Share:

0 komentar: