Kamis, 04 Desember 2008

16.000 Buruh Sudah Di-PHK

Thursday, 04 December 2008
JAKARTA(SINDO) – Dampak krisis keuangan global terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia semakin nyata.Lebih dari 16.000 buruh di berbagai sektor industri telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

”Kalau bicara dampak krisis, siapa yang bisa prediksi? Tapi jujur, kita sudah terdampak. Konsekuensi dari dunia usaha yang mulai kekurangan order telah mendorong pemangkasan pekerja,” ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Manakertrans) Erman Suparno saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Gedung DPR Jakarta kemarin. Berdasarkan laporan tim monitoring Depnakertrans, belasan ribu buruh yang menjadi korban PHK berasal dari berbagai bidang usaha seperti industri perkayuan, elektronik, dan garmen.

Kinerja sektor-sektor tersebut langsung terimbas krisis global lantaran permintaan pasarnya melemah. Laporan itu menunjukkan, per 28 November 2008, jumlah buruh yang telah di-PHK mencapai 16.988 orang. Pada saat yang sama, sebanyak 6.597 buruh telah dirumahkan, 23.927 orang buruh dalam rencana PHK,dan 19.091 orang buruh direncanakan untuk dirumahkan.

Berdasarkan lokasinya, jumlah PHK terbanyak terjadi di Provinsi DKI Jakarta yang menimpa 14.268 buruh. Selanjutnya di Jawa Tengah 1.190 buruh, Maluku 515 buruh,Kalimantan Barat 496 buruh, Riau 407 buruh, dan Sumatera Selatan 112 orang buruh. Jumlah buruh yang terkena PHK di DKI Jakarta bisa bertambah lantaran 9.757 buruh telah masuk daftar rencana PHK.

Pada saat yang sama, di Provinsi Sumatera Utara terdapat 10.000 buruh yang telah direncanakan untuk di-PHK. Di Kalimantan Timur,jumlah buruh yang telah dirumahkan mencapai 1.890 orang. Lalu di Banten sebanyak 1.597 buruh, Jawa Tengah 1.025 buruh, Riau 1.000 buruh, Jawa Barat 600 buruh,dan Kalimantan Barat 485 buruh. Angka PHK diyakini akan terus meningkat lantaran sejumlah kasus di beberapa daerah belum termuat dalam data tim monitoring Depnakertrans.

Semisal di Provinsi Banten dilaporkan terdapat 353 Industri yang telah melakukan PHK terhadap 3.968 orang buruh. Erman mengatakan,demi mengatasi kemungkinan lonjakan PHK, pemerintah berencana merealisasi rencana aksi pada tiga aspek.

Rencana ini ditujukan tidak hanya untuk menolong buruh yang telah di-PHK, melainkan juga meminimalkan angka PHK. Aspek pertama, pemerintah siap melibatkan buruh yang telah di-PHK dalam berbagai skema program padat karya dan produktif seperti wiraswasta, bekerja di luar negeri, transmigrasi, pemanfaatan lahan, pembangunan rumah,irigasi,dan jalan raya.

Aspek kedua, untuk menyelamatkan buruh yang masih dalam ancaman PHK atau dirumahkan, pemerintah bakal mendorong perusahaanperusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi, mengurangi lembur, menawarkan opsi pensiun dini,dan merumahkan sementara buruh. Aspek terakhir,pemerintah juga akan mendorong optimalisasi program di berbagai kementerian/ lembaga yang banyak menyerap tenaga kerja.

Di bagian lain, kalangan dunia usaha memprediksi ancaman PHK pada tahun depan akan semakin terasa. Dampak krisis yang tahun ini hanya memukul sebagian sektor industri, pada tahun depan diperkirakan akan merembet ke sektor lain. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar Ade Sudrajat mengatakan, hingga saat ini saja sudah ada 26.000 karyawan yang dirumahkan.Jumlah ini diperkirakan meningkat pada 2009. Ade yang juga sebagai Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jabar memprediksi, pada awal 2009 sekitar 10% dari total tenaga kerja di Jabar atau sekitar 70.000 orang terancam PHK.

”Sekarang sudah bukan ancaman lagi tapi memang kenyataan. PHK sudah terjadi dan pasti akan membesar pada tahun depan,” tandas Ade. Jabar merupakan sentra industri tekstil utama di Indonesia. Di wilayah ini, terdapat lebih dari 700 pabrik tekstil dan menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Ekspor terbesar industri TPT Jabar adalah ke Amerika Serikat.

Industri Rumah Tangga

Di tempat terpisah, ekonom yang juga anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo meminta pemerintah mengembangkan industri rumah tangga (home industry) sebagai antisipasi maraknya PHK. Industri rumah tangga diharapkan bisa menjadi bantalan kuat bagi perekonomian.

”Pemerintah perlu memberikan insentif, terutama sisi regulasi, demi pengembangan industri rumah tangga,”ujarnya. Dia menilai sampai saat ini banyak hambatan yang membuat industri rumahan sulit berkembang.Hambatan antara lain terkait perizinan usaha.

”Sekarang ini kalau mau membuat izin harus masuk ke Depdag, kadang ada izin khusus. Untuk peraturan ini saja biayanya sekitar 15%. Karena itu, pangkas aturan yang tidak perlu,” katanya. Menurut dia, industri rumahan merupakan alternatif yang fleksibel dan tidak kompleks. Lantaran dikelola secara kekeluargaan, para pekerja rumahan ini akan lebih mudah menyesuaikan.

”Mereka bisa masuk dan keluar tanpa banyak keributan, berbeda dengan industri besar yang akan membuat keguncangan ketika PHK,” katanya. Selain itu, menurut dia, pemerintah sudah saatnya membangun kembali industri substitusi impor. Industri ini harus digalakkan agar dunia usaha tetap kuat di tengah gejolak kurs. ”Kita tidak ingin terus terperosok karena nilai tukar rupiah yang melemah terus seperti ini,”ujarnya. (zaenal muttaqin/ teguh mahardika/ant)
Share:

0 komentar: