Nograhany Widhi K - detikNews
Bungkus seram rokok(Nala Edwin)
Jakarta - Fatwa haram rokok oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan menjadi jalan keluar terakhir untuk mengendalikan rokok. Pasalnya, upaya legislasi di DPR mentok. Presiden SBY seperti mendukung industri rokok.
Perjalanan panjang ini diuraikan Direktur Eksekutif Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD) Sri Utari Setyawati ketika dihubungi detikcom, Rabu (13/8/2008).
Awalnya, WHO menyusun Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada tahun 2003. Setelah itu, dibuka kesempatan bagi negara-negara yang menandatangani antara 30 Juni 2003 - 29 Juni 2004, sebagai kemauan untuk meratifikasinya.
Indonesia yang ikut membuat draf FCTC ternyata malah tidak menandatangani.
"Kita melakukan legislasi karena pemerintah batal melakukan penandatanganan FCTC pada 29 Juni 2004. Indonesia juga belum meratifikasinya," ujar Arie, panggilan akrabnya.
Padahal, imbuhnya, ratifikasi FCTC itu cuma 2 pasal, pertama menerima FCTC dengan segala isinya, dan setuju menuangkan dalam UU dalam negeri. Kini, sudah ada sekitar 200 negara yang menandatangani dan meratifikasinya.
"Kita termasuk dalam 36 negara yang tidak meratifikasinya," kata dia.
Lantas, dilakukan upaya legislasi melalui DPR. Draf RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, diajukan IFPPD ke Badan Legislasi (Baleg) DPR awal 2006. Ada dukungan tanda tangan dari 204 anggota DPR RI, dari 13 tanda tangan minimum persyaratan mengajukan UU ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Ketua Baleg, imbuh Ari, memberi alasan terlambat mengajukan, karena Prolegnas 2006 sudah ditetapkan di akhir 2005, tetapi masih ada kesempatan di 2007.
Anggota DPR RI Komisi IX Hakim Sorimuda Pohan, yang mewakili para pengusul, menyurati Baleg sampai 3 kali. Surat yang ke-3 di akhir 2006 juga diajukan kepada Ketua DPR RI, barulah mendapat respons.
Akhirnya, tanggal 19 Februari 2007 Hakim diberi kesempatan untuk mempresentasikan pokok-pokok pikiran RUU tersebut. Setelah dibahas secara internal di Baleg sepanjang 2007, pada sidang paripurna awal Oktober 2007 Ketua DPR RI mengumumkan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, tidak masuk ke dalam daftar Prolegnas 2008. Sementara pada pengajuan terakhir didukung 259 anggota DPR RI.
"Waktu itu Ketua Baleg FX Sukarno menyatakan RUU tersebut bukan urgensi nasional," tutur Arie.
Di satu sisi Presiden SBY, menurut Arie, seperti mendukung industri rokok. "Presiden kita itu sangat sayang kepada Sampoerna atau Philip Morris. Pembukaan pabrik Philip Morris baru di Pacitan, dia membuka sendiri. Dia menyatakan ya industri rokok paling cepat menyerap tenaga kerja," jelas Arie.
Hingga lembaganya mengadakan diskusi dengan MUI untuk mengeluarkan fatwa haram rokok, di sebuah stasiun radio swasta 2 bulan lalu.
"Seperti ketika kami mengusulkan pasal aborsi karena inces atau keadaan tertentu seperti hasil perkosaan dimasukkan ke dalam bab UU Kesehatan, DPR menentang. Setelah keluar fatwa MUI, DPR langsung memasukkan pasal-pasal itu. Gerakan fatwa ini bisa menyelamatkan," tegas Arie.
Fatwa MUI dan upaya gugatan legal standing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sedang dalam tahap mediasi, lanjut dia, diharapkan bisa mengontrol pengendalian dampak tembakau, utamanya pada anak-anak dan remaja.(nwk/nrl)






0 komentar:
Posting Komentar